Ilmu manusia terhadap makhluk-makhlulk yang menghuni alam semseta
sangat terbatas dan minim. Kita tidak mengetahui cara komunikasi dan
interaksi semut-semut, cacing-cacing dan kebanyakan makhluk lainnya
antara satu dengan yang lain. Dan bahkan kita tidak mampu mendengarkan
suara-suara mereka!
Karena panca indera pendengaran kita hanya mampu menerima suara-suara
yang frekuensinya terbatas. Kita tidak memiliki kemampuan mendengarkan
suara-suara dengan frekeunsi kurang atau lebih dari itu. Sementara
merupakan suatu hal yang pasti mereka berhubungan dan berinteraksi satu
sama lain.
Adapun bagaimana proses tasbih makhluk-makhluk memuji Allah Swt
merupakan hal-hal yang belum dapat disingkap oleh sains karena itu kita
tidak dapat mengilustrasikan bagaimana proses tasbih tersebut. Namun
telah dijelaskan pada banyak ayat dan riwayat bahwa seluruh makhluk
bertasbih kepada Allah Swt.[1]
Tasbih artinya menyucikan dan mengkuduskan Allah Swt dari segala
kekurangan, cela, ketidakmampuan dan pendeknya segala sesuatu yang
hanya dalam kapasitas makhluk-makhluk. Imam Shadiq As tatkala ditanya
tentang subhanaLlah, beliau bersabda, “Artinya mengungkapkan kesucian Allah Swt dari segala macam cela dan keburukan.”[2]
Terdapat dua pandangan ahli tafsir sehubungan dengan bagaimana proses tasbih makhluk-makhluk (batu-batuan dan tumbuh-tumbuhan):
- Tasbih dengan bahasa tubuh atau non-verbal (hâl)
- Tasbih dengan bahasa verbal (qâl)
- Tasbih dengan bahasa tubuh atau non-verbal (hâl)
Sebagian ahli tafsir memandang bahwa tasbih makhluk-makhluk dinyatakan
dengan bahasa tubuh dan non-verbal. Mereka memaknai tasbih tersebut
sebagai petunjuk eksistensial seluruh makhluk atas Zat Suci Allah Swt
dan sifat-sifat sempurnanya. Pada pandangan ini sebagain ahli tafsir
berpandangan bahwa tasbih makhluk-mahkluk adalah tasbih takwini
dan makhluk-makhluk tersebut mendeskripsikan Sang Pencipta dengan
bahasa non-verbal dan lamat-lamat berkata, “Apabila engkau menyaksikan
kekurangan pada diriku maka hal itu merupakan keniscayaan esensial
diriku dan Mahasuci Allah Swt dari kekurangan ini.”
Abu Nasir Farabi, Thabarsi, Fakhrurazi dan Alusi memandang bahwa tasbih makhluk-makhluk dinyatakan dengan bahasa non-verbal (hâl).
Dalam tafsir Nemune juga dikemukakan pandangan ini. Farabi, dalam
tafsir tasbih dan salat makhluk-makhluk, berkata, “Langit dengan
putarannya membawa dirinya salat ke haribaan Ilahi. Bumi dengan
goyangannya menunaikan salat dan turunnya hujan adalah salat bagi
hujan.”[3]
Sesuai dengan pandangan ini, konsepsi dan afirmasi tasbih
makhluk-makhluk dan atom-atom di alam semesta sangat dapat dipahami
karena setiap atom dari atom-atom di alam semesta yang melakukan
aktifitas maka aktivitas tersebut adalah tasbih.
- Tasbih dengan bahasa verbal (qâl)
Yang dimaksud dengan bagian tasbih dan pujian ini adalah bahwa seluruh
makhluk adalah berakal dan memiliki intelejensi. Di samping mereka
bertasbih dan memuji Allah Swt dengan bahasa non-verbal, mereka juga
memuji Allah Swt dengan bahasa verbal. Namun kita ketahui secara global
bahwa tasbih semacam ini bersandar pada konsep bahwa seluruh hewan dan
tumbuh-tumbuhan sesuai dengan kondisi dan posisi mereka memiliki
pemahaman dan jiwa-jiwa rasional. Setiap makhluk bertasbih kepada
Tuhannya dengan jiwa rasionalnnya dan lamat-lamat tasbih seluruh makhluk
mengalun syahdu pada alam semesta. Meski mendengarkan tasbih mereka
tidak mungkin bagi semua orang dan hanya orang-orang tertentu yang tidak
terhijabi dunia yang dapat mendengarkan alunan tasbih seluruh makhluk
di alam semesta.
Mengutip Rumi:
Sekiranya matamu terbuka dari mata gaib
Maka atom-atom semesta memiliki rahasia bersamamu
Omongan air, tanah dan bunga
Hanya dapat dimengerti oleh orang-orang yang mengurus hatinya
Di antara ulama kontemporer yang memiliki condong terhadap pandangan
ini kita dapat menunjuk Allamah Thabathabai Ra dan Syahid Muthahhari Ra.
Allamah Thabathabai Ra berkata, “Tasbih seluruh makhluk adalah tasbih
hakiki dan verbal. Sesuatu yang verbal tidak mesti harus berbentuk
untaian lafaz yang didengarkan.”[4]
Karena itu tasbih tumbuh-tumbuhan dan batu-batuan juga melakukan tasbih
hakiki dan verbal. Adapun yang mengatakan tasbih para malaikat dan
orang-orang beriman adalah tasbih verbal sementara tasbih
makhluk-makhluk lainnya adalah tasbih non-verbal tidak dapat dibenarkan.
Manusia harus menjadi ahli hati (yang mengurus hati dan penyucian
jiwa), makna dan hakikat sehingga mampu memahami tasbih tersebut.
Tatkala manusia memahami makhluk-makhluk tersebut kita saksikan bahwa
bagaimana seluruh makhluk mengetahui, sadar, memuji dan bertasbih kepada
Allah Swt.
Sehubungan dengan Nabi Daud, al-Quran menyatakan, “Bersabarlah atas
segala apa yang mereka katakan; dan ingatlah hamba Kami Daud yang
mempunyai kekuatan; sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhan).
Sesungguhnya Kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersamanya
(Daud) di waktu petang dan pagi. Dan (Kami tundukkan pula) burung-burung
dalam keadaan terkumpul (sehingga bertasbih bersamanya). Masing-masing
burung itu amat taat kepada-Nya.” (Qs. Shad [38]:17-19)
Pada ayat ini terdapat dua poin yang menyokong pendapat bahwa tasbih
makhluk-makluk itu adalah tasbih dengan bahasa verbal: Pertama turut
sertanya gunung-gunung dan burung-burung bersama Nabi Daud bertasbih
memuji Allah Swt, “bertasbih bersamanya” apabila yang dimaksud tasbih
adalah tasbih makhluk-makhluk adalah tasbih dengan bahasa non-verbal
maka kebersamannya dengan Daud tidak memiliki makna atau tidak terdapat
poin yang menyebutkan hal itu (tasbih non-verbal).
Konteks ayat bersifat tunggal. Karena itu tidak ada maknanya kita
memaknai tasbih terkait dengan gunung-gunung dan burung-burung sebagai
bahasa non-verbal dan terkait dengan Nabi Daud kita maknai sebagai
bahasa verbal, karena tasbih dengan bahasa non-verbal juga dapat
disampaikan meski tanpa Nabi Daud As.
Poin lainnya bahwa ayat menyatakan pada pagi hari dan petang
gunung-gunung dan burung-burung bertasbih bersama Daud. Boleh jadi kita
berkata bahwa pagi hari dan petang merupakan kata kiasan dari malam dan
siang dan sebagai hasilnya adalah tasbih yang berterusan. Namun dengan
memperhatikan poin sebelumnya (bersama Nabi Daud As) harus dikatakan
bahwa gunung-gunung dan burung-burung bersama Nabi Daud satu suara
melakukan tasbih. Artinya kapansaja Nabi Daud mulai bertasbih, maka
burung-burung dan gunung-gunung akan bersamanya satu nada bertasbih.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan ‘asya dan abkar
adalah makna hakiki fajar dan senja, dan dalam hal ini tasbih yang
menunjukkan adanya gunung-gunung dan burung-burung berarti adanya Tuhan
dan tafsir tidak dengan bahasa non-verbal dan sebagaimana yang telah
kami katakan, tasbih seperti ini senantiasa dan ada setiap masa. Tidak
ada dalilnya kita mengkhususkan tasbih tersebut hanya pada pagi dan
petang atau ketika adanya Nabi Daud As. Daud yang
mendengarkan gunung-gunung dan burung-burung bertasbih dengannya, beliau
memiliki telinga yang lain yang menembus batin dan malakut segala
sesuatu dan mendengarkan suara batin mereka. “Apabila telinga batin kita
terbuka maka kita juga akan mendengarkan.”[5]
Sehubungan dengan kisah bebatuan yang berbicara di tangan Rasulullah Saw,[6]
Syahid Muthahhari berkata, “Di sini bukan mukjizat Rasulullah Saw
sehingga bebatuan berbicara melainkan mukjizatnya terletak pada beliau
membukakan telinga orang-orang untuk mendengarkan suara bebatuan
tersebut. Bebatuan itu senantiasa bertasbih dan mukjizat Rasulullah Saw
adalah memperdengarkan suara tasbih tersebut bukan membuat bebatuan
bersuara.”[7]
Karena itu dapat dikatakan bahwa tasbih lisan dan ucapan
makhluk-makhluk adalah hal yang mungkin saja terjadi yang dapat dipahami
oleh hati-hati suci dan manusia-manusia yang telah menempa dan
menggembleng dirinya. [iQuest]
[1]. “Langit
yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada
Allah. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya,
tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia
adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (Qs. Al-Isra [17]:44)
[2]. Al-Kâfi, jil. 1, hal. 118, Hadis 10.
[3]. Tasbih Makhluk-makluk.
[4]. Terjemahan Persia al-Mizân, jil. 13, hal 152.
[5]. Silahkan lihat al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 13, hal. 120-121.
[6]. Bihâr al-Anwâr, jil. 57, hal. 169.
[7]. Murtadha Muthahhari, Âsyanâi bâ Qur’ân, jil. 4, hal. 174.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar