Senin, 21 Januari 2013

SURAT PERINTAH MUAWIYAH DAN YAZID UNTUK MEMBUNUH IMAM HUSAIN CUCU NABI SAW



Berkata Syaikul Islam Ibnu Taimiyah—rahimahullah, “Yazid bin Muawiyah tidak memerintahkan untuk membunuh Al Husain . Hal ini berdasarkan kesepakatan para ahli sejarah. Yazid hanya memerintahkan kepada Ibnu Ziyad untuk mencegah Al Hasan menjadi penguasa negeri Iraq.” Ketika kabar tentang terbunuhnya Al Husain sampai kepada Yazid, maka nampak terlihat kesedihan di wajahnya dan suara tangisan pun memenuhi rumahnya. Kaum wanita rombongan Al Husain yang ditawan oleh pasukan Ibnu Ziyad pun diperlakukan secara hormat oleh Yazid hingga mereka dipulangkan ke negeri asal mereka. Dalam buku-buku Syiah, mereka mengangkat riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa wanita-wanita Ahlul Bait yang tertawan diperlakukan secara tidak terhormat. Mereka dibuang ke negeri Syam dan dihinakan di sana sebagai bentuk celaan kepada mereka. Semua ini adalah riwayat yang batil dan dusta. Justru sebaliknya, Bani Umayyah memuliakan Bani Hasyim.Disebutkan pula bahwa kepala Al Husain dihadapkan kepada Yazid. Tapi riwayat ini pun tidak benar, karena kepala Al Husain masih berada di sisi Ubaidillah bin Ziyad di Kufah.
 
Ibnu Jawi al Jogjakartani menanggapi
Ibnu Taimiyah dan Ahlul bait
Diatas disebutkan bahwa sumber yang dipakai untuk membantah bahwa Yazid bin Muawiyah tidak terlibat pembunuhan Imam Husain adalah Ibnu Taimiyah, seperti diketahui bersama bahwa Ibnu Taimiyah memiliki kebencian yang luarbiasa pada Ahlul bait  dan memiliki kecintaan yang bukan  alang kepalang kepada Muawiyah dan Yazid  sebuah kitab berjudul “Fadho’il Muawiyah wa Yazid” (Keutamaan Muawiyah dan Yazid) didesikasikan untuk Muawiyah dan Yazid. Berikut adalah bukti-bukti Ibnu taimiyah menampakan kebencian kepada Ahlul Ba’it (salah satunya Imam Ali bin Abi Tholib) yang dinukil dari kitabnyua sendiri Minhaj as Sunnah:

 

1. Ibnu Taimiyah menolak kekhalifahan Imam ali bin Abi Thalib  “Diriwayatkan dari Syafi’i dan pribadi-pribadi selainnya, bahwa khalifah ada tiga; Abu Bakar, Umar dan Usman”.[1]
2. Ibnu Taimiyah menolak  ke imamahan Imam Ali  “Manusia telah bingung dalam masalah kekhilafan Ali (karena itu mereka berpecah atas) beberapa pendapat; Sebagian berpendapat bahwa ia (Ali) bukanlah imam, akan tetapi Muawiyah-lah yang menjadi imam. Sebagian lagi menyatakan, bahwa pada zaman itu tidak terdapat imam secara umum, bahkan zaman itu masuk kategori masa (zaman) fitnah”.[2]
3. “Dari mereka terdapat orang-orang yang diam (tidak mengakui) atas (kekhalifahan) Ali, dan tidak mengakuinya sebagai khalifah keempat. Hal itu dikarenakan umat tidak memberikan kesepakatan atasnya. Sedang di Andalus, banyak dari golongan Bani Umayyah yang mengatakan: Tidak ada khalifah. Sesungguhnya khalifah adalah yang mendapat kesepakatan (konsensus) umat manusia. Sedang mereka tidak memberi kesepakatan atas Ali. Sebagian lagi dari mereka menyatakan Muawiyah sebagai khalifah keempat dalam khutbah-khutbah jum’atnya. Jadi, selain mereka menyebutkan ketiga khalifah itu, mereka juga menyebut Muawiyah sebagai (khalifah) keempat, dan tidak menyebut Ali”.[3]
4. “Kita mengetahui bahwa sewaktu Ali memimpin, banyak dari umat manusia yang lebih memilih kepemimpinan Muawiyah, atau kepemimpinan selain keduanya (Ali dan Muawiyah)…maka mayoritas (umat) tidak sepakat dalam ketaatan”.[4]
 
Dan menariknya lagi ulama-ulama ahlu sunnah banyak juga yang mengomentari atas sikapnya yang berlebihan yang melecehkan Imam Ali dan Ahlul Ba’it Nabi dalam Kitab Minhaj dan tersebut :
1.    Ibnu Hajar al-Asqalani dalam menjelaskan tentang pribadi Ibnu Taimiyah mengatakan: “Ia terlalu berlebihan dalam menghinakan pendapat rafidhi (Allamah al-Hilli seorang ulama Syiah. red) sehingga terjerumus kedalam penghinaan terhadap pribadi Ali”.[5]
2.    Allamah Zahid al-Kautsari mengatakan: “…dari beberapa ungkapannya dapat dengan jelas dilihat kesan-kesan kebencian terhadap Ali”.[5]
3.    Syeikh Abdullah Ghumari pernah menyatakan: “Para ulama yang sezaman dengannya menyebutnya (Ibnu Taimiyah) sebagai seorang yang munafik dikarenakan penyimpangannya atas pribadi Ali”.[6]
4.    Syeikh Abdullah al-Habsyi berkata: “Ibnu Taimiyah sering melecehkan Ali bin Abi Thalib dengan mengatakan: Peperangan yang sering dilakukannya (Ali) sangat merugikan kaum muslimin”.[7]
5.    Hasan bin Farhan al-Maliki menyatakan: “Dalam diri Ibnu Taimiyah terdapat jiwa ¬nashibi dan permusuhan terhadap Ali”.[8]
6.    Hasan bin Ali as-Saqqaf berkata: “Ibnu Taimiyah adalah seorang yang disebut oleh beberapa kalangan sebagai ‘syeikh Islam’, dan segala ungkapannya dijadikan argumen oleh kelompok tersebut (Salafy). Padahal, ia adalah seorang nashibi yang memusuhi Ali dan menyatakan bahwa Fathimah (puteri Rasulullah. red) adalah seorang munafik”.[9]
 
Demikian pula dalam kasus Imam Husain bagaimana Ibnu taimiyah membela matimatian Yazid bin Muawiyah, sebagaimana   dalam Su’al fi Yazid bin Muawiyah, Ibnu Taimiyah mengatakan: “Yazid tidak menginginkan pembunuhan Husein, ia bahkan menunjukkan ketidaksenangannya atas peritiwa tersebut, Yazid tidak pernah memerintahkan untuk membunuh Husein, kepala-kepala (peristiwa Karbala) tidak dihadirkan di hadapannya, ia tidak memukul gigi-gigi kepala Husein dengan kayu. Akan tetapi, Ubaidillah bin Ziyad-lah yang melakukan itu semua” di halaman lain  Ibnu taimiyah mengatakan pula “Yazid bin Muawiyah tidak memerintahkan untuk membunuh Al Husain . Hal ini berdasarkan kesepakatan para ahli sejarah. Yazid hanya memerintahkan kepada Ibnu Ziyad untuk mencegah Al Hasan menjadi penguasa negeri Iraq.”
saking ngefan dan memujanya Ibnu Taimiyah pada Yazid sampai-sampai dalam peristiwa Hara pun Ibnu taimiyah membelanya. bahkan ketika Yazid  melakukan perusakan Ka’bah sebagaimana Abrahah Ibnu taimiyah pun membela lagi  dalam kitabnya Su’al fi Yazid bin Muawiyah, Ibnu Taimiyah mengatakan:
“Tidak seorang muslim pun yang mau bermaksud menghinakan Ka’bah, bukan wakil Yazid, juga bukan wakil Abdul Malik yang bernama Hajjaj bin Yusuf, ataupun selain mereka berdua, bahkan segenap kaum muslimin bermaksud untuk mengagungkan Ka’bah. Jadi, kalaulah Masjid al-Haram dikepung, hal itu karena pengepungan terhadap Ibnu Zubair. Pelemparan menggunakan manjanik-pun tertuju kepadanya. Yazid tidak ada maksud untuk membakar dan merusak Ka’bah, Ibnu Zubair yang telah melakukan semua itu”.  Dikalangan Ahlu sunnah sendiri Ibnu Taimiyah dikatagorikan orang yang sesat lihat di syiahnews.wordpress.com
Benarkah Muawiyah idak memerintahkan membunuh Husain as ?

 
 Kebencian Bani Umayyah yang oleh Allah dalam Al Qur’an  al Isra : 60 dijuluki sebaga al syajarah al Mal’unah (pohon kayu terkutuk/terlaknat) kepada Rasulullah saw dan Ahlul Ba’itnya memang tak disangsikan lagi, termasuk diantaranya sekenario pembunuhan terhadap Imam Husain as, perencanaan pembunuhan itu disusun sendiri oleh Muawiyyah bin Abu Sofyan dan dilanjutkan oleh Yazid bin Muawiyah, adapun buktinya adalah surat yang dikirimkan oleh Muawiyyah kepada Yazid berikut  isi surat itu :
Kepada Yazid dari Muawiyyah bin abi sufyan, tak pelak, kematian adalah peristiwa yang sungguh menyeramkan dan sangat merugikan bagi seorang lelaki berkuasa seperti ayahmu. Namun, biarkanlah, semua peran telah kumainkan. Semua impianku telah kuukirkan pada kening sejarah dan semuanya telah terjadi, Aku sangat bangga telah berjaya membangun kekuasaan atas nama para leluhur Umayyah.
Namun, yang kini membuatku gundah dan tak nyenyak tidur adalah nasib dan kelanggengan pada masa-masa mendatang, Maka camkanlah, putraku, meski tubuh ayhmu telah terbujur dalam perut bumi, kekuasaan ini, sebagaimana yang di inginkan Abu sofyan  dan seluruh orang, haruslah menjadi hak abadi putra-putra dan keturunanku.
Demi mempertahankannya, beberapa langkah mesti kau ambil, Berikan perhatian istimewa kepada warga syam. Penuhi seluruh kebutuhan dan saran-saran mereka, Kelak mereka dapat kaujadikan sebagai tumbal dan perisai. Mereka akan menjadi serdadu-serdadu berdarah dingin yang setia kepadamu.
Namun, ketahuilah, kedudukan dan kekuasaan ini adalah incaran banyak orang bak seekor kelinci  manis ditengah gerombolan serigala lapar. Maka, waspadalah terhadap empat tokoh masyarakat yang ku sebut dibawah ini :
pertama adalah  ‘Abdurahman bin Abu Bakar, pesanku, jangan terlalu khawatir menghadapinya, ia mudah di bius dengan harta dan gemerlap pesta. Benamkan dia dalam kesenangan, dan seketika ia menjadi dungu, bahkan  pendukungm.
  dua Abdullah bin Umar bin al Khatab,  ia menurut pengakuanya, hanya peduli pada agama dan akherat, seperti mendalami dan mengajarkan Al qur’an dan mengurung diri dalam mihrab masjid. Aku meramalkan, ia tidak terlalu berbahaya bagi keududkanmu, karena dunia dimatanya adalah kotor, sedangkan panji-panji Muhammad adalah harapan pertama dan terakhir. Biarkan putra kawanku ini larut dalam upacara-upacara keagamaanya dan menikmati mantra-mantranya
Ketiga adalah ‘Abdullah bin Zubair, Ia seperti ayahnya bisa memainkan dua peran, serigala dan harimau. Pantaulah selalu gerak geriknya, jika berperan sebagai serigala, ia hanya melahap sisa-sisa makanan harimau dan ia tidak akan mengusikmu. Apabila memperlihatkan sikap lunak, sertakanlah cucu Al ‘Awam ini dalam rapat-rapat pemerintahanmu. Namun jika ia berperan seperti Harimau, yaitu berambisi merebut kekuasaanmu, maka janganlah mengulur-ulur waktu mengemasnya dalam keranda. Ia cukup berani, cerdik dan bangsawan.
Keempat adalah Husain bin Ali bin Abi Thalib, sengaja aku letakkan namanya pada urutan terakhir, karena ayahmu ingin mengulasnya lebih panjang. Nasib kekuasanmu sangat ditentukan oleh sikap dan caramu  dalam menghadapinya. Bila kuingat namanya, kuingat pada kakek, ayah, ibu dan saudaranya. Bila semua itu teringat, maka serasa sebonngkah  kayu menghantam kepalaku dan jilatan api cemburu membakar jiwaku. Putra kedua musuh bebuyutanku ini akan menjadi pusat perhatian dan tumpuan masyarakat.
Pesanku, dalam jangka sementara, bersikaplah lembut padanya, karena, sebagaimana kau sendiri ketahui, darah Muhammad mengalir di tubuhnya, Ia pria satria, putra pangeran jawara, susu penghulu para ksatria. Ia pandai, berpenampilan sangat menarik, dan gagah. Ia mempunyai semua alasan untuk disegani, dihormati dan di taati
Namun, bila sikap tegas dibutuhkan dan keadaan telah mendesak, kau harus mempertahankan kekuasaan yang telah kuperoleh  dengan susah payah ini, apapun akibatnya, tak terkecuali menebas batang leher al Husain dan menyediakan sebidang tanah untuk menanam seluruh keluarga dan pengikutnya. Demikianlah surat pesan ayahmu yang ditulis dalam keadaan sakit. Harapanku, kau siap-siap melaksanakan pesan-pesanku tersebut “
Dan surat tersebut di antar oleh Adh Dhahhak bin Qais al Fihri kepada Yazid bin Muawiyah, sebagian sejahrawan  menyebutkan bahwa Muawiyyah sempat  menasehati  Yazid dengan statment sama seperti surat yang tertulis diatas. [10]
Reaksi Yazid bin Muawiyyah setelah matinya Muawiyah adalah  memerintahkan Al Walid bin Uthbah untuk  memaksa orang-orang yang disebut dalam waisat bapaknya agar  berbai’at kepadanya. Surat perintah tersebut didokumentasikan oleh para ahli sejarah, berikut kutipan lengkapnya :
Surat ditujukan kepada al Walid Ibn Utba :
Panggil al Husain Ibn Ali Ibn Abi Thalib (as)  dan Abdullah Ibn Zubair, Minta padanya untuk membaiat kekhalifaanku ! dan jika mereka menolak, pisahkan kepalanya dari tubuhnya dan kirimkan padaku di Damaskus ! Juga galanglah baiat untukku dari orang-orang madinah, dan jika ada yang menolak, maka perintah yang telah aku keluarkan juga berlaku untuk mereka ! [11]
Bukti kedua bukti surat diatas adalah bukti difinitif yang membuktikan bahwa Muawiyah dan Yazid memerintahkan untuk membunuh Husain as. Kegagalan pengambilan paksa bai’at kepada Imam Husain tersebut  diteruskan kepada perwira-perwira lapangan, salah satu surat  tersebut  memerintahkan pembunuhan dan perusakan jenazah Imam Husain,  dalam surat tersebut di Perintah kepada Ibn Sa’ad,  agar memilih satu diantara dua perintah : segera menyerang Husain atau menyerahkan komando tentara kepada Syimr, dan  bila Husain gugur dalam pertempuran, tubuhnya harus di injak-injak [12]
Benarkah Yazid tidak memukul kepala dan gigi imam Husain ?
Dalam kitabnya Su’al fi Yazid bin Muawiyah, Ibnu Taimiyah mengatakan: “Yazid tidak menginginkan pembunuhan Husein, ia bahkan menunjukkan ketidaksenangannya atas peritiwa tersebut, Yazid tidak pernah memerintahkan untuk membunuh Husein, kepala-kepala (peristiwa Karbala) tidak dihadirkan di hadapannya, ia tidak memukul gigi-gigi kepala Husein dengan kayu. Akan tetapi, Ubaidillah bin Ziyad-lah yang melakukan itu semua”.
Benarkah bualan Ibnu Taimiyah itu ? mari kita uji dengan pandangan ulama Sunni yang lain :
Ibnu Atsir dalam kitabnya menukil ucapan Abdullah bin Abbas ra kepada Yazid, Ibnu Abbas berkata, “Engkaulah (Yazid) yang telah penyebab terbunuhnya Husein bin Ali”. Ibnu Atsir dalam kitab yang sama menulis, “Yazid memberi izin kepada masyarakat untuk menemuinya sedangkan kepala Husein bin Ali as ada di sisinya, sambil ia memukuli muka kepala tersebut sembari mengucapkan syair”. Sementara Taftazani, seorang pemuka Ahlusunnah mengatakan: “Pada hakikatnya, kegembiraan Yazid atas terbunuhnya Husein dan penghinaannya atas Ahlul Bait (keluarga Rasul) merupakan suatu hal yang mutawatir (diterima oleh mayoritas), sedang kami tidak lagi meragukan atas kekafirannya (Yazid), semoga laknat Allah tertuju atasnya dan atas penolong dan pembelanya”. Sedang Mas’udi dalam kitab Muruj adz-Dzahab dengan jelas menuliskan “Suatu hari, setelah peristiwa terbunuhnya Husein, Yazid duduk di hidangan minuman khamr sedang di samping kanannya duduk Ibnu Ziyad”.
Menarik lagi jika diperhatikan Sabath Ibn al Jauzi ia menuliskan :  Ketika ahlul bait sampai ke syam dalam keadaan tertawan, Yazid duduk di Istananya, menghadap ke arah balkon, dan Yazid meminta sorang penyair melantunkan syairnya :
 
Ketika kepala-kepala itu mulai tampak
Terlihatlah kepala para pembangkang itu di atas balkon
Burung gagak berkoak koak
Aku berkata ” Hutang-Hutangku kepada Nabi telah terlunasi. [13]
Ulama-ulama ahlu sunnah lainya menceritakan dalam kitab-kitabnya : Yazid menyambut gembira  dengan terbunuhnya Imam al Husain, ia kemudian mengundang kaum yahudi dan Nasrani  untuk mendatangi majelisnya, yazid meletakkan kepala al husain di Hadapanya sambil mendengarkan syair-syair yang dilantunkan oleh Asyar bin al Zubari :
Seandainya para leluhurku di Badar
Menyaksikan kesedihan kaum al Khazraj
Karena patahnya lembing mereka
Mereka pasti akan senenang melihat hal ini
Kemudian mereka berkata :
”Hai Yazid seharusnya jangan kau potong kepalanya
Sesungguhnya kami telah membunuh pemuka mereka
Terbunuhnya ia sebanding dengan kekalahan kita di Badar
Hasyim mencoba bermain-main dengan Sang Penguasa
Akibatnya, tidak ada berita dan tidak ada yang hidup
Aku bukanya sombong, jika aku tidak membalas dendam kepada keturunan Bani Muhammad
Namun, kami telah membalas dendam kepada Ali Dengan mebunuh si Husain pengendara kuda. Si singa pemberani
Para sejahrawan ahlu sunnah seperti  menuliskan bahwa ketika lantunkan syair bait kedua di atas Yazid memukul gigi depan Imam Husain dengan tongkatnya [14]
Tentang Tangisan  Yazid (dan Muawiyah)

Sabtu, 19 Januari 2013

Sunni menuduh Syiah mengambil Aqidah-Aqidah Mereka dari Abdullahh Bin Saba'

Siapa yang tidak mengenal Abdullah bin Saba’?. Sosoknya sering dijadikan bahan celaan oleh nashibi untuk mengkafirkan Syiah. Menurut khayalan para nashibi, Abdullah bin Saba’ adalah pendiri Syiah, seorang Yahudi yang berpura-pura memeluk Islam dan menyebarkan keyakinan yang menyimpang dari Islam. Diantara keyakinan yang menyimpang tersebut adalah
  1. Penunjukkan Imam Ali sebagai khalifah setelah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]
  2. Mencela sahabat Nabi yaitu Abu Bakar [radiallahu ‘anhu], Umar bin Khaththab [radiallahu ‘anhu] dan Utsman bin ‘Affan [radiallahu’anhu]
  3. Upaya pembunuhan Khalifah Utsman bin ‘Affan [radiallahu ‘anhu]
  4. Sikap ghuluw terhadap Ali [radiallahu ‘anhu] dan Ahlul Bait
  5. Mencetuskan aqidah bada’ dan tidak meninggalnya Ali [radiallahu ‘anhu]
Nashibi tersebut melanjutkan fitnahnya dengan menyatakan bahwa Syiah mengambil aqidah-aqidah mereka dari Abdullah bin Saba’ dan sampai sekarang masih meyakini aqidah-aqidah tersebut dan membelanya.
Jika diteliti dengan baik maka sebenarnya nashibi tersebut tidak memiliki landasan kokoh atau dasar yang shahih dalam tuduhan mereka tentang Abdullah bin Saba’. Peran Abdullah bin Saba’ yang luar biasa sebagaimana disebutkan nashibi di atas tidaklah ternukil dalam riwayat yang shahih. Nashibi mengais-ngais riwayat dhaif dalam kitab Sirah yaitu riwayat Saif bin Umar At Tamimiy seorang yang dikatakan matruk, zindiq, pendusta bahkan pemalsu hadis. Dari orang seperti inilah nashibi mengambil aqidah mereka tentang Abdullah bin Saba’. Maka tidak berlebihan kalau nashibi yang ngaku-ngaku salafy tersebut kita katakan sebagai pengikut Saif bin Umar.
Syiah sebagai pihak yang difitnah membawakan pembelaan. Para ulama Syiah telah banyak membuat kajian tentang Abdullah bin Saba’. Secara garis besar pembelaan mereka terbagi menjadi dua golongan
  1. Golongan yang menafikan keberadaan Abdullah bin Saba’, dengan kata lain mereka menyatakan bahwa Abdullah bin Saba’ adalah tokoh fiktif yang dimunculkan oleh Saif bin Umar
  2. Golongan yang menerima keberadaan Abdullah bin Saba’ tetapi mereka membantah kalau ia adalah pendiri Syiah, bahkan menurut mereka Abdullah bin Saba’ adalah seorang ekstrim ghulat yang dilaknat oleh para Imam Ahlul Bait.
Bukan nashibi namanya kalau diam saja terhadap Syiah. Nashibi tersebut membantah dengan menyatakan bahwa Abdullah bin Saba’ bukan tokoh fiktif dan tidak hanya muncul dalam riwayat Saif bin Umar tetapi juga ada dalam riwayat-riwayat lain yang mereka katakan shahih. Riwayat-riwayat itulah yang akan dibahas dalam tulisan ini.
.
.
.
Riwayat Abdullah bin Sabaa’ Dalam Kitab Sunniy

حَدَّثَنَا عَمْرِو بْنِ مَرْزُوقٍ ، قَالَ : أنا شُعْبَةُ ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ ، عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ ، قَالَ : قَالَ عَلِيٌّ : مَا لِي وَلِهَذَا الْحَمِيتِ الأَسْوَدِ ، يَعْنِي : عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَبَإٍ ، وَكَانَ يَقَعُ فِي أَبِي بَكْرٍ ، وَعُمَرَ

Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Marzuuq yang berkata telah mengabarkan kepada kami Syu’bah dari Salamah bin Kuhail dari Zaid bin Wahb yang berkata Ali berkata apa urusanku dengan orang jelek yang hitam ini? Yakni ‘Abdullah bin Saba’ dia mencela Abu Bakar dan Umar [Tarikh Ibnu Abi Khaitsamah 3/177 no 4358]
‘Amru bin Marzuuq terdapat perbincangan atasnya. Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Ma’in berkata “tsiqat ma’mun”. Abu Hatim dan Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqat. As Sajiy berkata shaduq. Ali bin Madini meninggalkan hadisnya. Abu Walid membicarakannya. Yahya bin Sa’id tidak meridhai ‘Amru bin Marzuuq. Ibnu ‘Ammar Al Maushulliy berkata “tidak ada apa-apanya”. Al Ijliy berkata “Amru bin Marzuuq dhaif, meriwayatkan hadis dari Syu’bah yang tidak ada apa-apanya”. Daruquthni berkata “shaduq banyak melakukan kesalahan”. Al Hakim berkata “buruk hafalannya”. Ibnu Hibban berkata “melakukan kesalahan” [At Tahdzib juz 8 no 160]
‘Amru bin Marzuuq tafarrud dalam penyebutan lafaz “yakni Abdullah bin Saba’ dia mencela Abu Bakar dan Umar”. Muhammad bin Ja’far Ghundar seorang yang paling tsabit riwayatnya dari Syu’bah tidak menyebutkan lafaz tersebut.

أخبرنا أبو القاسم يحي بن بطريق بن بشرى وأبو محمد عبد الكريم ابن حمزة قالا : أنا أبو الحسين بن مكي ، أنا أبو القاسم المؤمل بن أحمد بن محمد الشيباني ، نا يحيى بن محمد بن صاعد، نا بندار ، نا محمد بن جعفر ، نا شعبة ، عن سلمة ، عن زيد بن وهب عن علي قال : مالي وما لهذا الحميت الأسود ؟ قال: ونا يحي بن محمد ، نا بندار ، نا محمد بن جعفر ، نا شعبة عن سلمة قال: سمعت أبا الزعراء يحدث عن علي عليه السلام قال: مالي وما لهذا الحميت الأسود

Telah mengabarkan kepada kami Abu Qaasim Yahya bin Bitriiq bim Bisyraa dan Abu Muhammad Abdul Kariim bin Hamzah keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Abu Husain bin Makkiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Qaasim Mu’ammal bin Ahmad bin Muhammad Asy Syaibaniy yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Muhammad bin Shaa’idi yang berkata telah menceritakan kepada kami Bundaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Salamah dari Zaid bin Wahb dari Aliy yang berkata “apa urusanku dengan orang jelek hitam ini?”. [Mu’ammal] berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami Bundaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Salamah yang berkata aku mendengar Abu Az Za’raa menceritakan hadis dari Ali [‘alaihis salaam] yang berkata “apa urusanku dengan orang jelek yang hitam ini?” [Tarikh Ibnu Asakir 29/7]
Riwayat Ibnu Asakir ini sanadnya shahih. Abu Muhammad Abdul Kariim bin Hamzah disebutkan Adz Dzahabiy bahwa ia syaikh tsiqat musnad dimasyiq [As Siyar 19/600]. Abu Husain bin Makkiy adalah Muhammad bin Makkiy Al Azdiy Al Mishriy muhaddis musnad yang tsiqat [As Siyaar 18/253]. Mu’ammal bin Ahmad Asy Syaibaniy dinyatakan tsiqat oleh Al Khatib [Tarikh Baghdad 13/183]. Yahya bin Muhammad bin Shaa’idi seorang imam hafizh musnad iraaq dinyatakan tsiqat oleh Al Khaliliy [As Siyaar 14/501]. Bundaar adalah Muhammad bin Basyaar perawi kutubus sittah yang tsiqat [At Taqrib 2/58]
Muhammad bin Ja’far Ghundaar adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ia termasuk perawi yang paling tsabit riwayatnya dari Syu’bah. Ibnu Madini berkata “ia lebih aku sukai dari Abdurrahman bin Mahdiy dalam riwayat Syu’bah”. Ibnu Mahdiy sendiri berkata “Ghundaar lebih tsabit dariku dalam riwayat Syu’bah”. Al Ijliy berkata orang Bashrah yang tsiqat, ia termasuk orang yang paling tsabit dalam hadis Syu’bah” [At Tahdzib juz 9 no 129].
Lafaz Abdullah bin Saba’ dalam riwayat Ibnu Abi Khaitsamah mengandung illat [cacat] yaitu tafarrud ‘Amru bin Marzuuq. Ghundaar perawi yang lebih tsabit darinya tidak menyebutkan lafaz ini. ‘Amru bin Marzuuq adalah perawi yang shaduq tetapi bukanlah hujjah jika ia tafarrud sebagaimana telah ternukil jarh terhadapnya dan lafaz “yakni ‘Abdullah bin Saba’ dia mencela Abu Bakar dan Umar” adalah tambahan lafaz dari ‘Amru bin Marzuuq.
.
.
.
Riwayat selanjutnya yang dijadikan hujjah oleh para nashibi adalah riwayat yang menyebutkan bahwa orang hitam jelek itu adalah Ibnu Saudaa’

حدثنا محمد بن عباد ، قال : حدثنا سفيان ، عن عمار الدهني ، قال : سمعت أبا الطفيل يقول : رأيت المسيب بن نجية أتى به ملببه ؛ يعني : ابن السوداء ، وعلي على المنبر ، فقال علي : ما شأنه ؟ فقال : يكذب على الله وعلى رسوله صلى الله عليه وسلم

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abbaad yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyaan dari ‘Ammaar Ad Duhniy yang berkata aku mendengar Abu Thufail mengatakan “aku melihat Musayyab bin Najbah datang menyeretnya yakni Ibnu Saudaa’ sedangkan Ali berada di atas mimbar. Maka Ali berkata “ada apa dengannya?”. Ia berkata “ia berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya” [Tarikh Ibnu Abi Khaitsamah 3/177 no 4360]

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبَّادٍ الْمَكِّيُّ ، نا سُفْيَانُ ، قَالَ : نا عَبْدُ الْجَبَّارِ بْنُ عَبَّاسٍ الْهَمْدَانِيُّ ، عَنْ سَلَمَةَ ، عَنْ حُجَيَّةَ الْكِنْدِيِّ ، رَأَيْتُ عَلِيًّا عَلَى الْمِنْبَرِ ، وَهُوَ يَقُولُ : مَنْ يَعْذِرُنِي مِنْ هَذَا الْحَمِيتِ الأَسْوَدِ الَّذِي يَكْذِبُ عَلَى اللَّهِ ، يَعْنِي : ابْنَ السَّوْدَاءِ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abbaad Al Makkiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Jabbar bin ‘Abbas Al Hamdaniy dari Salamah dari Hujayyah Al Kindiy yang berkata “aku melihat Ali di atas mimbar dan ia berkata “siapa yang dapat membebaskan aku dari orang jelek hitam ini ia berdusta atas nama Allah, yakni Ibnu Saudaa’ [Tarikh Ibnu Abi Khaitsamah 3/177 no 4359]
Kedua riwayat ini bersumber dari Muhammad bin ‘Abbaad Al Makkiy termasuk perawi Bukhari dan Muslim. Ia seorang yang shaduq hasanul hadis, sering salah dalam hadis. Ibnu Ma’in dan Shalih Al Jazarah berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Qani’ berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Tahrir At Taqrib no 5993]. Diantara kesalahannya dalam hadis telah dinukil oleh Ibnu Hajar dalam At Tahdzib yaitu hadis-hadisnya dari Sufyan yang diingkari bahkan ada hadisnya yang dinyatakan batil dan dusta oleh Ali bin Madini [At Tahdzib juz 9 no 394]. Riwayat di atas termasuk riwayatnya dari Sufyan.
Jika kedua riwayat tersebut selamat dari kesalahan Muhammad bin ‘Abbaad Al Makkiy maka kedudukannya hasan. Tetapi riwayat ini bukanlah hujjah bagi nashibi. Siapakah Ibnu Saudaa’ yang dimaksud dalam riwayat tersebut?. Apakah ia adalah Abdullah bin Sabaa’?. Kalau memang begitu mana dalil shahihnya bahwa Abdullah bin Sabaa’ adalah Ibnu Saudaa’. Orang yang pertama kali menyatakan Abdullah bin Sabaa’ disebut juga Ibnu Saudaa’ adalah Saif bin Umar At Tamimiy dan ia seperti yang telah dikenal seorang yang dhaif zindiq, matruk, kadzab dan pemalsu hadis. Ada sebagian ulama yang mengutip Abdullah bin Sabaa’ sebagai Ibnu Saudaa’ tetapi pendapat ini tidak ada dasar riwayat shahih kecuali  mengikuti apa yang dikatakan oleh Saif bin Umar.
Lafaz Ibnu Saudaa’ pada dasarnya bermakna anak budak hitam, dan ini bisa merujuk pada siapa saja yang memang anak dari budak hitam. Kalau para nashibi atau orang yang sok ngaku ulama nyalafus shalih ingin menyatakan bahwa Ibnu Saudaa’ yang dimaksud adalah Abdullah bin Sabaa’ maka silakan bawakan dalil shahihnya. Silakan berhujjah dengan kritis jangan meloncat sana meloncat sini dalam mengambil kesimpulan. Apalagi dengan atsar seadanya di atas ingin menarik kesimpulan Ibnu Sabaa’ sebagai pendiri Syiah. Sungguh jauh sekali
Matan kedua riwayat Muhammad bin ‘Abbad tersebut juga tidak menjadi hujjah bagi nashibi. Perhatikan apa yang disifatkan kepada Ibnu Saudaa’ dalam riwayat tersebut yaitu ia berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada sedikitpun disini qarinah yang menunjukkan kaitan antara Ibnu Saudaa’ dengan Syiah atau aqidah yang ada di sisi Syiah.
.
.
.

أخبرنا أبو البركات الأنماطي أنا أبو طاهر أحمد بن الحسن وأبو الفضل أحمد بن الحسن قالا أنا عبد الملك بن محمد بن عبد الله أنا أبو علي بن الصواف نا محمد بن عثمان بن أبي شيبة نا محمد بن العلاء نا أبو بكر بن عياش عن مجالد عن الشعبي قال أول من كذب عبد الله بن سبأ

Telah mengabarkan kepada kami Abul Barakaat Al Anmaathiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Thaahir Ahmad bin Hasan dan Abu Fadhl Ahmad bin Hasan keduanya berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Malik bin Muhammad bin ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aliy bin Shawwaaf yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al ‘Alla’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin ‘Ayyasy dari Mujalid dari Asy Sya’biy yang berkata “orang pertama yang berbuat kedustaan adalah ‘Abdullah bin Sabaa’ [Tarikh Ibnu Asakir 29/7]
Atsar ini sanadnya dhaif. Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah adalah perawi yang diperbincangkan kedudukannya. Shalih Al Jazarah berkata “tsiqat”. Abdaan berkata “tidak ada masalah padanya”. Abdullah bin ‘Ahmad berkata “kadzab” Ibnu Khirasy berkata “pemalsu hadis” [As Siyaar 14/21]. Tuduhan dusta dan pemalsu hadis sebagaimana dikatakan Abdullah bin Ahmad dan Ibnu Khirasy ternyata bersumber dari Ibnu Uqdah seorang yang tidak bisa dijadikan sandaran perkataannya.
Tetapi sebagian ulama lain telah memperbincangkan Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah. Daruquthni berkata “dhaif” [Su’alat Al Hakim no 172]. Al Khaliliy berkata “mereka para ulama mendhaifkannya” [Al Irsyad 2/576]. Baihaqi berkata “tidak kuat” [Sunan Baihaqi 6/174 no 11757]. Adz Dzahabiy sendiri walaupun memujinya dengan sebutan imam hafizh musnad sebagaimana dinyatakan dalam As Siyaar, di kitabnya yang lain Adz Dzahabiy berkata “dhaif” [Tarikh Al Islam 1/25].
Abu Bakar bin ‘Ayyasy juga termasuk perawi yang diperbincangkan. Ahmad terkadang berkata “tsiqat tetapi melakukan kesalahan” dan terkadang berkata “sangat banyak melakukan kesalahan”, Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat, Utsman Ad Darimi berkata “termasuk orang yang jujur tetapi laisa bidzaka dalam hadis”. Muhammad bin Abdullah bin Numair mendhaifkannya, Al Ijli menyatakan ia tsiqat tetapi sering salah. Ibnu Sa’ad juga menyatakan ia tsiqat shaduq tetapi banyak melakukan kesalahan, Al Hakim berkata “bukan seorang yang hafizh di sisi para ulama” Al Bazzar juga mengatakan kalau ia bukan seorang yang hafizh. Yaqub bin Syaibah berkata “hadis-hadisnya idhthirab”. As Saji berkata “shaduq tetapi terkadang salah”. [At Tahdzib juz 12 no 151]. Ibnu Hajar berkata “tsiqah, ahli ibadah, berubah hafalannya di usia tua, dan riwayat dari kitabnya shahih” [At Taqrib 2/366]. Ia dikatakan mengalami ikhtilath di akhir umurnya dan tidak diketahui apakah Muhammad bin Al ‘Alla’ meriwayatkan darinya sebelum atau sesudah mengalami ikhtilath. Maka hal ini menjadi illat [cacat] yang menjatuhkan derajat riwayat tersebut.
Riwayat tersebut juga lemah karena Mujalid bin Sa’id Al Hamdaniy ia seorang yang dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar. Ibnu Ma’in berkata “tidak bisa dijadikan hujjah”. Nasa’i berkata “tidak kuat”. Daruquthni berkata “dhaif”. Yahya bin Sa’id mendhaifkannya [Mizan Al I’tidal juz 3 no 7070]. Al Ijliy menyatakan ia hasanul hadis [Ma’rifat Ats Tsiqat no 1685]. Ibnu Hajar berkata “tidak kuat” [At Taqrib 2/159]. Mujallid tidak memiliki penguat dalam riwayat di atas maka kedudukan riwayat tersebut dhaif.
Matan riwayat Asy Sya’biy tersebut juga mungkar karena bagaimana mungkin dikatakan Ibnu Sabaa’ adalah orang pertama yang berbuat kedustaan padahal sebelumnya sudah ada para pendusta yang mengaku sebagai Nabi seperti Musailamah dan pengikutnya. Mustahil dikatakan Asy Sya’biy tidak mengetahui perkara Musailamah.
.
.
.

حَدَّثَنِي أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاءِ الْهَمْدَانِيُّ ، نا مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ الأَسَدِيُّ ، نا هَارُونُ بْنُ صَالِحٍ الْهَمْدَانِيُّ ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ، عَنْ أَبِي الْجُلاسِ ، قَالَ : سَمِعْتُ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، يَقُولُ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَبَأٍ : ” وَيْلَكَ ، مَا أَفْضَى إِلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا كَتَمَهُ أَحَدًا مِنَ النَّاسِ وَلَقَدْ سَمِعْتُهُ يَقُولُ : إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ ثَلاثِينَ كَذَّابًا وَإِنَّكَ لأَحَدُهُمْ؟

Telah menceritakan kepadaku Abu Kuraib Muhammad bin Al ‘Allaa’ Al Hamdaaniy yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Hasan Al Asadiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Haarun bin Shaalih Al Hamdaaniy dari Al Haarits bin ‘Abdurrahman dari Abul Julaas yang berkata aku mendengar Aliy [radiallahu ‘anhu] berkata kepada ‘Abdullah bin Saba’ “celaka engkau, Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak pernah menyampaikan kepadaku sesuatu yang Beliau sembunyikan dari manusia dan sungguh aku telah mendengar Beliau berkata “sesungguhnya sebelum kiamat akan ada tiga puluh pendusta” dan engkau adalah salah satu dari mereka [As Sunnah Abdullah bin Ahmad no 1325]
Abu Ya’la juga membawakan hadis ini dalam Musnad-nya 1/350 no 449 dengan jalan Abu Kuraib di atas. Abu Kuraib memiliki mutaba’ah yaitu Abu Bakar bin Abi Syaibah sebagaimana yang disebutkan Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah no 982 dan Abu Ya’la dalam Musnad-nya 1/350 no 450. Nashibi menyatakan bahwa atsar ini tsabit (kokoh) dan mengutip Al Haitsamiy yang berkata “diriwayatkan Abu Ya’la dan para perawinya tsiqat” [Majma’ Az Zawaid 7/333 no 12486]
Pernyataan nashibi keliru dan menunjukkan kejahilan yang nyata. Atsar ini kedudukannya dhaif jiddan.
  1. Muhammad bin Hasan Al Asadiy ia seorang yang diperbincangkan. Ibnu Hajar berkata “shaduq ada kelemahan padanya” dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib bahwa ia seorang yang dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar. Ia telah didhaifkan oleh Ibnu Ma’in, Yaqub bin Sufyan, Al Uqailiy, Ibnu Hibban, Abu Ahmad Al Hakim dan As Sajiy. Abu Hatim berkata “syaikh”. Abu Dawud berkata “shalih ditulis hadisnya”. Al Ijliy, Ibnu Adiy dan Daruquthni berkata “tidak ada masalah padanya”. Ditsiqatkan Al Bazzar dan dinukil dari Abu Walid bahwa Ibnu Numair mentsiqatkannya. [Tahrir At Taqrib no 5816]
  2. Haarun bin Shalih Al Hamdaaniy adalah perawi majhul, yang meriwayatkan darinya hanya Muhammad bin Hasan Al Asadiy [Tahrir At Taqrib no 7233]. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 9 no 16198]. Tautsiq Ibnu Hibban tidak memiliki qarinah yang menguatkan.
  3. Harits bin ‘Abdurrahman disebutkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat bahwa ia meriwayatkan dari Abu Julaas dan meriwayatkan darinya Harun bin Shalih [Ats Tsiqat Ibnu Hibban juz 6 no 7232]. Tautsiq Ibnu Hibban tidak memiliki qarinah yang menguatkan maka kedudukannya majhul.
  4. Abu Julaas adalah perawi yang majhul sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar dan disepakati dalam Tahrir At Taqrib [Tahrir At Taqrib no 8029]
.
.
.
Ibnu Hajar dalam kitab Lisan Al Mizan mengutip salah satu riwayat dari Abu Ishaq Al Fazari, Ibnu Hajar berkata

وقال أبو إسحاق الفزاري عن شعبة عن سلمة بن كهيل عن أبي الزعراء عن زيد بن وهب أن سويد بن غفلة دخل على علي في غمارته فقال إني مررت بنفر يذكرون أبا بكر وعمر يرون أنك تضمر لهما مثل ذلك منهم عبد الله بن سبأ وكان عبد الله أول من أظهر ذلك فقال علي ما لي ولهذا الخبيث الأسود ثم قال معاذ الله أن أضمر لهما إلا الحسن الجميل ثم أرسل إلى عبد الله بن سبأ فسيره إلى المدائن وقال لا يساكنني في بلدة أبدا ثم نهض إلى المنبر حتى اجتمع الناس فذكر القصة في ثنائه عليهما بطوله وفي آخره إلا ولا يبلغني عن أحد يفضلني عليهما إلا جلدته حد المفتري

Abu Ishaaq Al Fazaariy berkata dari Syu’bah dari Salamah bin Kuhail dari Abi Az Za’raa dari Zaid bin Wahb bahwa Suwaid bin Ghaffalah masuk menemui ’Ali [radiallahu ‘anhu] di masa kepemimpinannya. Lantas dia berkata,”Aku melewati sekelompok orang menyebut-nyebut Abu Bakar dan ’Umar. Mereka berpandangan bahwa engkau juga menyembunyikan perasaan seperti itu kepada mereka berdua. Diantara mereka adalah ’Abdullah bin Saba’ dan dialah orang pertama yang menampakkan hal itu”. Lantas ’Ali berkata,”Aku berlindung kepada Allah untuk menyembunyikan sesuatu terhadap mereka berdua kecuali kebaikan”. Kemudian beliau mengirim utusan kepada ’Abdullah bin Saba’ dan mengusirnya ke Al-Madaain. Beliau juga berkata,”Jangan sampai engkau tinggal satu negeri bersamaku selamanya”. Kemudian beliau bangkit menuju mimbar sehingga manusia berkumpul. Lantas beliau menyebutkan kisah secara panjang lebar yang padanya terdapat pujian terhadap mereka berdua [Abu Bakar dan ’Umar], dan akhirnya berliau berkata,”Ketahuilah, jangan pernah sampai kepadaku dari seorangpun yang mengutamakan aku dari mereka berdua melainkan aku akan mencambuknya sebagai hukuman untuk orang yang berbuat dusta. [Lisan Al Mizan juz 3 no 1225]
Nashibi berkata tentang riwayat ini bahwa kedudukannya tsabit. Pernyataan ini keliru, bahkan bisa dikatakan riwayat ini khata’ [salah]. Asal mula riwayat ini adalah apa yang disebutkan Abu Ishaaq Al Fazari dalam kitabnya As Siyar dan Al Khatib dalam Al Kifaayah

أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ غَالِبٍ الْخُوَارَزْمِيُّ قَالَ : ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ حَمْدَانَ النَّيْسَابُورِيُّ بِخُوَارَزْمَ ، قَالَ : أَمْلَى عَلَيْنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْبُوشَنْجِيُّ ، قَالَ : ثنا أَبُو صَالِحٍ الْفَرَّاءُ مَحْبُوبُ بْنُ مُوسَى ، قَالَ : أنا أَبُو إِسْحَاقَ الْفَزَارِيُّ ، قَالَ : ثنا شُعْبَةُ ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ ، عَنْ أَبِي الزَّعْرَاءِ ، أَوْ عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ ، أَنَّ سُوَيْدَ بْنَ غَفَلَةَ الْجُعْفِيَّ ، دَخَلَ عَلَى عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، فِي إِمَارَتِهِ ، فَقَالَ : يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنِّي مَرَرْتُ بِنَفَرٍ يَذْكُرُونَ أَبَا بَكْرٍ ، وَعُمَرَ بِغَيْرِ الَّذِي هُمَا لَهُ أَهْلٌ مِنَ الإِسْلامِ ، لأَنَّهُمْ يَرَوْنَ أَنَّكَ تُضْمِرُ لَهُمَا عَلَى مِثْلِ ذَلِكَ ، وَإِنَّهُمْ لَمْ يَجْتَرِئُوا عَلَى ذَلِكَ إِلا وَهُمْ يَرَوْنَ أَنَّ ذَلِكَ مُوَافِقٌ لَكَ ، وَذَكَرَ حَدِيثَ خُطْبَةِ عَلِيٍّ وَكَلامِهِ فِي أَبِي بَكْرٍ ، وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ ، وَقَوْلِهِ فِي آخِرِهِ ” أَلا : وَلَنْ يَبْلُغَنِي عَنْ أَحَدٍ يُفَضِّلُنِي عَلَيْهِمَا إِلا جَلَدْتُهُ حَدَّ الْمُفْتَرِي

Telah mengabarkan kepada kami Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Ghaalib Al Khawarizmiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Abbas Muhammad bin Ahmad bin Hamdaan An Naisaburiy di Khawarizm yang berkata imla’ kepada kami Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ibrahiim Al Buusyanjiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Shalih Al Farra Mahbuub bin Muusa yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Ishaaq Al Fazariy yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Salamah bin Kuhail dari Abi Az Za’raa’ atau dari Zaid bin Wahb bahwa Suwaid bin Ghafallah Al Ju’fiy menemui Ali bin Abi Thalib [radiallahu ‘anhu] pada masa kepemimpinannya dan berkata “wahai amirul mukminin aku melewati sekelompok orang yang menyebut-nyebut Abu Bakar dan Umar sesuatu dalam islam yang tidak ada pada diri mereka. Mereka berpandangan bahwa engkau juga menyembunyikan perasaan seperti itu kepada mereka berdua dan bahwa mereka tidaklah menyatakan hal itu kecuali mereka berpandangan bahwa hal itu diakui olehmu kemudian disebutkan hadis khutbah Ali yang berbicara tentang Abu Bakar dan Umar akhirnya berkata,”Ketahuilah, jangan pernah sampai kepadaku dari seorangpun yang mengutamakan aku dari mereka berdua melainkan aku akan mencambuknya sebagai hukuman untuk orang yang berbuat dusta [Al Kifaayah Al Khatib 3/333 no 1185]
Riwayat dengan matan yang sama di atas juga disebutkan Abu Ishaaq Al Fazari dalam kitabnya As Siyar hal 327 no 647. Kalau kita membandingkan riwayat Abu Ishaaq Al Fazaariy ini dengan apa yang dinukil oleh Ibnu Hajar maka terdapat kesalahan penukilan yang dilakukan Ibnu Hajar.
  1. Kesalahan pada sanad yaitu Ibnu Hajar menuliskan dari Abu Ishaq dari Syu’bah dari Salamah dari Abu Az Za’raa’ dari Zaid bin Wahb dari Suwaid. Sedangkan riwayat Abu Ishaq sebenarnya adalah dari Syu’bah dari Salamah dari Abu Az Za’raa’ atau dari Zaid bin Wahb dari Suwaid.
  2. Kesalahan pada matan yaitu Ibnu Hajar menuliskan lafaz bahwa diantara mereka ada Ibnu Sabaa’ dan dialah yang pertama kali menampakkan hal itu sehingga Ali [radiallahu ‘anhu] mengusirnya ke Mada’in. Sedangkan riwayat Abu Ishaq sebenarnya tidak ada keterangan tentang Abdullah bin Saba’.
Maka riwayat Abu Ishaaq Al Fazaariy tidak bisa dijadikan hujjah untuk membuktikan khayalan nashibi tentang ‘Abdullah bin Sabaa’. Ada baiknya mereka mengais-ngais riwayat lain karena sepertinya mereka sudah kehabisan hujjah riwayat.
Riwayat Abu Ishaq Al Fazaariy di atas mengandung lafaz syaak [ragu] yaitu Salamah bin Kuhail berkata dari Abi Az Za’raa’ atau dari Zaid bin Wahb. Zaid bin Wahb adalah seorang yang tsiqat dan Abu Az Za’raa’ Abdullah bin Haani’ Al Kuufiy adalah perawi yang dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar. Al Ijli dan Ibnu Sa’ad menyatakan ia tsiqat. Tetapi Al Bukhari berkata “tidak memiliki mutaba’ah dalam hadisnya”. Al Uqailiy memasukkannya dalam Adh Dhu’afa. Dan tidak meriwayatkan darinya kecuali Salamah bin Kuhail [Tahrir At Taqrib no 3677]. Adz Dzahabi memasukkannya dalam Diwan Adh Dhu’afa no 2337.
Jika kedua orang ini adalah perawi yang tsiqat maka lafaz syaak seperti itu tidaklah menjatuhkan kedudukan hadisnya tetapi jika salah satu dari kedua perawi itu dhaif maka ini menjadi illat [cacat] bagi riwayat tersebut. Apakah riwayat tersebut berasal dari perawi yang tsiqat ataukah dari perawi yang dhaif?. Bisa saja riwayat tersebut sebenarnya berasal dari perawi yang dhaif.
.
.
.
Kesimpulan dari pembahasan di atas adalah riwayat-riwayat tentang Abdullah bin Sabaa’ yang diriwayatkan melalui jalur selain Saif bin Umar ternyata sanadnya juga tidak shahih. Jikapun ada yang hasan riwayatnya maka penunjukkannya tidak jelas sebab yang tertera dalam riwayat tersebut adalah Ibnu Saudaa’ dan tidak ada bukti shahih bahwa Ibnu Saudaa’ yang dimaksud adalah ‘Abdullah bin Saba’. Ibnu Saudaa’ berarti anak budak hitam. Jadi riwayat tersebut hanya menunjukkan bahwa di masa Imam Ali terdapat anak budak hitam yang berdusta atas nama Allah SWT dan Rasul-Nya
Sebagian orang melebih-lebihkan dan mengada-ada tanpa dalil shahih bahwa Ibnu Saudaa’ yang dimaksud adalah ‘Abdullah bin Saba’. Kemudian mereka dengan nafsu kejinya menambah-nambahkan lagi bahwa ‘Abdullah bin Sabaa’ adalah pendiri Syiah menyebarkan keyakinan Imamah Ali bin Abi Thalib, menyebarkan akidah raja’ dan bada’, mencela Abu Bakar dan Umar. Padahal mereka tidak mampu membawakan satu dalil shahihpun yang menguatkan hujjah mereka.
Analogi yang pas untuk dongeng ‘Abdullah bin Sabaa’ seperti kisah berikut ada seorang yang dikenal pendusta di sebuah dusun dalam suatu negri. Kemudian negri tersebut terjatuh dalam kekacauan karena ulah pemimpinnya yang korup. Seiring dengan waktu terdapat orang-orang yang punya kepentingan melindungi aib sang pemimpin sehingga menyebarkan syubhat dengan mencatut nama si pendusta dari dusun kecil sebagai penyebab kekacauan negri tersebut. Kemudian para ahli sejarah yang kritis menelaah dan membuktikan bahwa sebenarnya si pendusta ini adalah tokoh fiktif yang dijadikan tameng untuk melindungi aib sang pemimpin. Para ahli lain yang dibayar oleh pihak yang berkepentingan berhasil membuktikan bahwa pendusta yang dimaksud memang ada dan tinggal di dusun tersebut jadi ia tidaklah fiktif maka kaum bayaran itu berbangga hati berhasil membuktikan bahwa ahli sejarah tersebut keliru.
Padahal orang yang punya akal pikiran dan waras pemahamannya akan berkata membuktikan adanya si pendusta bukan berarti membuktikan bahwa si pendusta itu yang mengacaukan negri tersebut. Itu adalah dua hal berbeda yang masing-masing memerlukan pembuktian. Nah begitulah, membuktikan adanya ‘Abdullah bin Sabaa’ bukan menjadi bukti bahwa ‘Abdullah bin Sabaa’ adalah pendiri Syiah. Itu adalah dua hal berbeda yang masing-masing  membutuhkan pembuktian. Apakah para nashibi itu mengerti? Jawabannya tidak, mereka adalah orang-orang yang lemah akalnya hampir-hampir tidak mengerti pembicaraan dan suka mencela untuk mengacaukan persatuan umat.
.
.
.
Nashibi yang kehabisan akal akhirnya kembali mengandalkan Saif bin Umar At Tamimiy. Hanya saja mereka sedikit melakukan akrobat dengan mengatakan Saif memang dhaif dalam hadis tetapi menjadi pegangan dalam sejarah. Dan riwayat tentang Ibnu Sabaa’ termasuk sejarah bukan hadis. Diantaranya mereka mengutip perkataan Ibnu Hajar tentang Saif “dhaif dalam hadis dan pegangan dalam tarikh” [At Taqrib 1/408].
Pembelaan ini tidak bernilai bahkan bisa dibilang inkonsisten. Kalau memang para ulama menjadikan Saif bin Umar sebagai pegangan dalam tarikh maka mengapa banyak para ulama yang melemahkan riwayat Saif bin Umar tentang tarikh ketika Saif menceritakan aib para sahabat Nabi misalnya Utsman bin ‘Affan. Jika untuk menuduh Syiah, Saif bin Umar dijadikan pegangan tetapi jika Saif menyatakan aib sahabat ia dicela habis-habisan. Bukankah ini gaya berhujjah model hipokrit aka munafik.
Saif bin Umar adalah seorang yang dhaif matruk bahkan dikatakan pemalsu hadis. Hal ini menunjukkan bahwa ia seorang pendusta yang tidak segan-segan untuk memalsukan hadis atas nama Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Kalau untuk hadis saja ia berani berdusta maka apalagi tarikh yang kedudukannya lebih rendah dari hadis.
Ibnu Hajar sendiri yang dijadikan hujjah oleh nashibi ternyata di tempat lain menolak riwayat Saif bin Umar. Ia berkata “kemudian dikeluarkan dari jalan Saif bin Umar dalam kitab Al Futhuh kisah panjang yang tidak shahih sanadnya” bahkan Ibnu Hajar mengatakan kabar-kabar tentang Abdullah bin Saba’ dalam kitab tarikh tidak satupun bernilai riwayat [Lisan Al Mizan juz 3 no 1225].
Maka sangat terlihat betapa rendah akal para nashibi dalam berhujjah. Mereka tidak bisa menggunakan akal mereka dengan benar. Hawa nafsu telah menuntun mereka dalam kontradiksi yang nyata. Demi melancarkan tuduhan terhadap Syiah mereka rela menghalalkan apa saja bahkan rela merendahkan akal mereka sendiri.
.
.
Bukankah para ulama Sunniy telah banyak mengutip biografi ‘Abdullah bin Saba’ dan menyatakan bahwa ia pendiri Syiah?. Memang tetapi perlu diingat bahwa para ulama ketika menuliskan biografi terkadang mencampuradukkan riwayat yang shahih dan dhaif atau bahkan ada yang hanya bersandar pada riwayat dhaif. Jadi apa yang mereka tulis bukanlah hujjah shahih jika ternyata hanya bersandar pada riwayat dhaif atau tidak didukung oleh riwayat yang shahih.
Akibatnya jika kita meneliti dengan baik banyak perkataan para ulama yang bertentangan satu sama lain tentang ‘Abdullah bin Sabaa’. Misalnya ada yang mengatakan bahwa ia dibakar Imam Ali tetapi ada yang menyatakan ia diusir Imam Ali ke Mada’in. Ada yang mengatakan bahwa ia disebut juga Ibn Saudaa’ tetapi ada yang menyatakan ia bukan Ibnu Saudaa’ atau menyatakan ia sebenarnya adalah Abdullah bin Wahb Ar Rasibiy pemimpin khawarij. Jadi tidak ada gunanya kalau berhujjah dengan model “katanya” buktikan hujjah dengan riwayat shahih, itulah kaidah ilmiah.
.
.
.
Tinjauan Riwayat Abdullah bin Sabaa’ Dalam Kitab Syiah 

Nashibi dalam menegakkan hujjah tuduhan dan celaan mereka bahwa ‘Abdullah bin Sabaa’ pendiri Syiah, mereka juga mengutip berbagai riwayat Syiah dan nukilan Ulama syiah yang mengakui keberadaan ‘Abdullah bin Sabaa’. Secara pribadi kami tidak memiliki kompetensi untuk meneliti kitab-kitab Syiah jadi pembahasan bagian ini merujuk pada tulisan-tulisan sebagian pengikut Syiah.
Berulang kali kami katakan bahwa kami bukan penganut Syiah dan tulisan ini hanya ingin menunjukkan pada orang awam bahwa syubhat salafy nashibi yang mencela Syiah adalah tidak berdasar dan dusta. Kami pribadi mengakui Syiah sebagai salah satu mazhab dalam Islam. Berbagai perbedaan antara Sunni dan Syiah tidak membuat salah satu layak untuk mengkafirkan yang lainnya. Kami mengajak kepada para pembaca untuk bersikap adil tanpa dipengaruhi mazhab manapun, kami tidak pula mengajak para pembaca agar menjadi penganut Syiah atau penganut Sunni. Apapun mazhab Islam yang dianut, hendaknya kita menjaga persatuan, saling menghormati dan menjaga kerukunan sesama muslim.
Telah kami bahas sepintas sebelumnya bahwa di sisi Syiah terkait dengan ‘Abdullah bin Sabaa’ terbagi menjadi dua pendapat
  1. Pendapat yang menganggap ‘Abdullah bin Sabaa’ sebagai tokoh fiktif. Pendapat ini dipopulerkan oleh ulama syiah kontemporer dan diikuti oleh sebagian yang lain.
  2. Pendapat yang mengakui keberadaan ‘Abdullah bin Sabaa’ dan menyatakan bahwa ia seorang yang ghuluw ekstrim bahkan jatuh dalam kekafiran. Hal ini diakui oleh ulama syiah terdahulu dalam kitab-kitab mereka.
Walaupun begitu kedua pendapat ini sepakat menolak tuduhan nashibi ‘Abdullah bin Sabaa’ sebagai pendiri Syiah. Ada yang menolak dengan memfiktifkan tokoh tersebut dan ada yang menolak dengan membawakan riwayat shahih bahwa ‘Abdullah bin Sabaa’ seorang yang dilaknat oleh Imam Ahlul Bait karena mendakwakan ketuhanan Ali [radiallahu ‘anhu]

عن أبان بن عثمان قال سمعت أبا عبد الله يقول لعن الله عبد الله بن سبإ إنه ادعى الربوبية في أمير المؤمنين و كان و الله أمير المؤمنين عبدا لله طائعا الويل لمن كذب علينا و إن قوما يقولون فينا ما لا نقوله في أنفسنا نبرأ إلى الله منهم نبرأ إلى الله منهم

Dari ‘Aban bin Utsman yang berkata aku mendengar Abu ‘Abdillah mengatakan Allah melaknat ‘Abdullah bin Saba’. Sesungguhnya ia mendakwakan Rububiyyah [ketuhanan] kepada Amiirul Mukminiin [Imam Ali], sedangkan Amiirul Mukminiin demi Allah hanyalah seorang hamba yang mentaati Allah. Neraka Wail adalah balasan bagi siapa saja yang berdusta atas nama kami. Sesungguhnya telah ada satu kaum berkata-kata tentang kami sesuatu yang kami tidak mengatakannya. Kami berlepas diri kepada Allah atas apa yang mereka katakan itu, kami berlepas diri kepada Allah atas apa yang mereka katakan itu [Rijal Al Kasysyiy hal 107 no 172]
Riwayat-riwayat semisal inilah yang dikutip oleh para nashibi dan disisi kelimuan Syiah riwayat Al Kasysyiy di atas shahih. Tetapi shahih-nya riwayat di atas tidak menjadi bukti akan kebenaran tuduhan nashibi bahwa ‘Abdullah bin Sabaa’ pendiri Syiah. Riwayat yang shahih di sisi Syiah menunjukkan bahwa ‘Abdullah bin Sabaa’ adalah seorang kafir yang dilaknat yang mendakwakan ketuhanan Ali [radiallahu ‘anhu]. Tentu saja di sisi Syiah tidak ada sedikitpun ajaran yang menuhankan Imam Ali. Syiah berlepas diri dari ‘Abdullah bin Saba’ dan tidak jarang ulama syiah mensifatkan ‘Abdullah bin Sabaa’ dengan kekafiran dan ghuluw ekstrim.
Dengan berpikir secara rasional sungguh sangat tidak mungkin jika ‘Abdullah bin Sabaa’ dikatakan pendiri Syiah karena di dalam kitab Syiah sendiri ia dikenal sebagai seorang ghuluw ekstrim bahkan kafir. Dan tidak ada satupun riwayat shahih dalam kitab Syiah bahwa ada salah satu ajaran Syiah yang bermula atau diambil dari ‘Abdullah bin Sabaa’. Para pengikut Syiah mengambil ajaran mereka dari para Imam Ahlul Bait dan Imam Ahlul Bait sendiri ternyata melaknat ‘Abdullah bin Sabaa’. Anehnya para nashibi tidak mampu berpikir secara rasional, mereka mengutip sesuka hati melompat-lompat dalam menarik kesimpulan, menegakkan waham di atas waham.
Seperti halnya para ulama sunni, ulama syiah juga mengalami kesimpangsiuran dalam kabar yang terkait Abdullah bin Sabaa’.
  1. At Thuusiy berkata bahwa Abdullah bin Sabaa’ kufur dan ghuluw [Rijal Ath Thuusiy hal 80]
  2. Al Hilliy berkata Abdullah bin Sabaa’ ghuluw terlaknat, ia menganggap Aliy Tuhan dan dirinya adalah Nabi [Rijal Al Hilliy hal 237]
  3. Al Mamqaniy berkata “Abdullah bin Sabaa’ dikembalikan padanya kekafiran dan ghuluw yang nyata” ia juga berkata “Abdullah bin Sabaa’ ghuluw terlaknat, Imam Ali membakarnya dengan api, ia mengatakan Ali adalah Tuhan dan ia sendiri adalah Nabi [Tanqiihul Maqaal Fii Ilm Rijaal 2/183-184]. Kami menukil ini dari situs nashibi dan sebagian pengikut syiah berkata bahwa ini bukan perkataan Al Mamqaniy tetapi perkataan Ath Thuusiy dan Al Hilliy sebelumnya.
  4. Sayyid Ni’matullah Al Jaza’iriy berkata bahwa Abdullah bin Sabaa’ mengatakan Ali adalah Tuhan sehingga Imam Ali mengasingkannya di Mada’in [Anwaar An Nu’maniyah 2/234]
  5. An Naubakhtiy berkata bahwa dihikayatkan oleh sekelompok ahli ilmu bahwa Abdullah bin Sabaa’ adalah yahudi yang masuk islam dan menunjukkan loyalitas pada Imam Ali, dan ia yang pertama kali menyatakan Imamah Ali [radiallahu ‘anhu] [Firaq Asy Syiiah hal 32-44]
  6. Sa’d bin ‘Abdullah Al Qummiy menyatakan bahwa kelompok Saba’iyyah adalah pengikut ‘Abdullah bin Sabaa’ ia adalah Abdullah bin Wahb Ar Raasibiy Al Hamdaniy. Dia adalah orang yang pertama kali menampakkan celaan pada Abu Bakar, Umar, Utsman dan sahabat lainnya serta berlepas diri dari mereka [Al Maqaalaat Wal Firaq hal 20]. Dikenal dalam sejarah bahwa Abdullah bin Wahb Ar Raasibiy adalah pemimpin kaum khawarij dan ia disebutkan terbunuh di Nahrawan
Nampak kabar yang simpang siur jika kita memperhatikan perkataan para ulama syiah tersebut. Ada yang mengatakan ia dibakar dengan api, ada yang mengatakan ia diasingkan ke Mada’in. Ada yang mengatakan ia yahudi yang masuk islam, ada yang mengatakan ia Abdullah bin Wahb pimpinan kaum khawarij. Simpang siur ini terjadi karena ulama syiah kebanyakan hanya menukil dan mencampuradukkan antara riwayat yang shahih dengan riwayat dhaif. [sama seperti ulama Sunniy]
Satu-satunya keterangan yang disampaikan dari riwayat Syiah yang shahih perihal Abdullah bin Sabaa’ adalah bahwa ia ghuluw terlaknat meyakini ketuhanan Imam Ali. Tidak benar jika dikatakan bahwa ‘Abdullah bin Sabaa’ yang pertama kali menyatakan imamah Ali [radiallahu ‘anhu] karena tidak ternukil dalam riwayat yang shahih di sisi Syiah.
Perkataan atau nukilan dari Naubakhtiy bahwa sekelompok ahli ilmu menyatakan Abdullah bin Sabaa’ yang pertama menyatakan Imamah Ali [radiallahu ‘anhu] adalah tidak berdasar dan tidak ada riwayat shahih di sisi Syiah yang mengatakannya bahkan tidak dikenal siapa saja ahli ilmu yang menyatakan demikian. Justru banyak ahli ilmu [di sisi Syiah] yang menyatakan ‘Abdullah bin Sabaa’ ghuluw kafir terlaknat.
.
.
.
Apa yang dapat disimpulkan dari pembahasan sejauh ini tentang ‘Abdullah bin Sabaa’?. Kita akan merincikan hal ini dalam kedua bagian yaitu keberadaan ‘Abdullah bin Sabaa’ dan Peran ‘Abdullah bin Sabaa’
Keberadaan Abdullah bin Sabaa’
  1. Tidak ada riwayat shahih di sisi Sunniy yang menyatakan keberadaan ‘Abdullah bin Sabaa’. Riwayat yang dijadikan hujjah nashibi telah dikemukakan illat [cacatnya]. Ada riwayat yang hasan [jika selamat dari illat] bahwa ada seorang yang dicela Imam Ali karena berdusta atas nama Allah SWT yaitu Ibnu Saudaa’ dan tidak ada bukti shahih bahwa ia adalah ‘Abdullah bin Sabaa’
  2. Ada riwayat shahih di sisi Syiah yang menyatakan keberadaan ‘Abdullah bin Sabaa’ bahwa ia ghuluw jatuh dalam kekafiran dan menyebarkan paham ketuhanan Ali [radiallahu ‘anhu]
Peran Abdullah bin Sabaa’
  1. Tidak ada riwayat shahih di sisi Sunniy dan di sisi Syiah yang menyatakan bahwa Abdullah bin Sabaa’ adalah orang yang pertama kali mengenalkan konsep Imamah Ali [radiallahu ‘anhu], celaan terhadap sahabat Abu Bakar dan Umar, konsep rajaa’ dan bada’, dan perannya dalam pembunuhan khalifah Utsman.
  2. Ternukil riwayat-riwayat dhaif baik di sisi Sunni dan di sisi Syiah yang menyatakan peran ‘Abdullah bin Sabaa’ misalnya riwayat Saif bin Umar bahwa Abdullah bin Sabaa’ mengenalkan konsep Imamah Ali dan perannya dalam pembunuhan khalifah Utsman. Begitu juga ternukil tanpa sanad riwayat syiah seperti yang dinukil An Naubakhtiy dan nukilan ulama yang diklaim menyatakan Abdullah bin Sabaa’ yang pertama mengenalkan konsep Imamah Aliy dan mencela Abu Bakar dan Umar. Nukilan ini tidak valid alias tidak terbukti siapa ahli ilmu di sisi Syiah yang menyatakannya dan riwayat tanpa sanad jelas dhaif kedudukannya.
  3. Sebagian ulama Sunni dan ada juga ulama Syiah yang menukil dalam kitab mereka peran ‘Abdullah bin Sabaa’ misalnya anggapan bahwa ia yahudi, mencela Abu Bakar dan Umar, terlibat pembunuhan Utsman, pertama kali mengenalkan Imamah Ali dan sebagainya. Nukilan mereka tidak bisa dijadikan hujjah karena tidak berlandaskan pada riwayat shahih atau mencampuradukkan antara yang shahih dan dhaif. Dalam perkara ini yang menjadi hujjah adalah bukti riwayat shahih bukan nukilan ulama yang terkadang berasal dari riwayat dhaif.
Penelitian yang baik dan ilmiah tentang Abdullah bin Sabaa’ akan menghasilkan kesimpulan bahwa Nashibi telah berdusta atas tuduhan Abdullah bin Sabaa’ pendiri Syiah. Salam Damai

Wasiat Nabi Muhammad saw Yang Terabaikan

“Aku tinggalkan untuk kalian dua amanat, selama kalian berpegang teguh pada keduanya, maka kalian tidak akan tersesat selamanya. Salah satunya lebih agung dari yang lain. Yakni Kitab Allah (al-Qur’an), tali rahmat-Nya yang terbentang dari langit hingga bumi. Yang kedua adaah ‘itraty (kerabatku), yakni ahli baitku (keluargaku). Keduanya tidak akan berpisah di sisiku hingga masuk di haudh (telaga surga). Perhatikanlah bagaimana kalian akan bersikap dengan kedua amanat itu?” Demikian terjemahan redaksi hadits Nabi Muhammad saw dalam Sunan Turmidzi dari sekian banyak redaksi-redaksi hadits yang mempunyai makna hampir sama dan dapat dipastikan kesahihannya
.
Namun dalam kenyataannya wasiat tersebut hampir tidak pernah disinggung dan “dihilangkan” dalam pendidikan dan pengajaran umat Islam. Hadits wasiat tersebut biasa dikenal dengan sebutan hadits al-Tsaqalain, dua perkara berat yang diamanahkan Rasulullah sw kepada umatnya. Hadits di atas bagi mayoritas kaum muslim mungkin terdengar baru bahkan mungkin dianggap hadits lemah karena galibnya mereka didengarkan, diajarkan, dan didoktrin dengan riwayat yang lain, yaitu “Wahai manusia, sesungguhnya aku meninggalkan dua hal untuk kalian. Apabila kalian berpegang teguh pada keduanya, maka kalian tidak akan tersesat selamanya. Keduanya adalah Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya”..
.
Padahal jika anda mempelajari dan mengetahui ilmu hadits, anda akan temukan bahwa kedua hadits yang kontradiksi tersebut memiliki perbedaan kualitas yang menonjol. Hadits yang pertama memiliki kualitas yang dapat diandalkan sedangkan hadits terakhir dapat dipastikan memiliki kualitas jauh lebih rendah dan lemah dari hadits pertama. Tidak percaya? Coba cari penelitian, takhrij kedua hadis tsaqalaindi internet. Anda akan menjumpai banyak penelitan dan takhrij atas hadist tersebut yang dapat memahamkan kita semua meski anda bukan orang yang mumpuni masalah hadits. Anda dapat juga mengkrosceknya dengan puluhan kitab riwayat, rijal hadits yang tersebar gratis di dunia maya untuk menghilangkan rasa ketidakpercayan anda

Tidak diketahui secara pasti sejak kapan dan kenapa wasiat Nabi Muhammad saw tersebut tidak menyebar luas sebagaimana riwayat lemah kedua yang sering kita dengar sewaktu sekolah, kuliah bahkan ketika khatib-khatib Jum’at mulai memerintahkan kita semua untuk bertakwa kepada Allah swt. Namun jika merunut sejarah peradaban Islam, ada masa-masa di mana ahli bait, keluarga Nabi Muhammad saw beserta para pengikutnya ditindas, dikejar-kejar bahkan dibunuh oleh pihak pemegang kekuasaan. Suatu masa dimana menyebut nama mereka merupakan sebuah tindakan kriminal yang dapat membunuh si pengucapnya. Yunus bin Ubaid berkata: “Aku bertanya kepada Hasan al-Basri: ‘Wahai Abu Sa’id, mengapa engkau katakan bahwa Rasululah saw bersabda demikian… demikian, sedangkan engkau sendiri tidak mengetahui asal-usulnya?’. Kemudian Hasan al-Basri menjawab: ‘Wahai kemenakanku, engkau bertanya kepadaku tentang sesuatu yang orang lain belum pernah menanyakannya padaku, bukankah engkau mengerti bagaimana keadaan zaman yang kita hadapi sekarang ini, … ketahuilah … setiap engkau mendengar aku berkata “Rasulullah saw bersabda”, maka hadits itu adalah dari riwayat Ali bin Abi Thalib ra hanya saja sekarang ini kita berada dalam zaman di mana tidak boleh menyebut nama Ali bin Abi Thalib”. Di masa-masa itulah kemungkinan besar wasiat Nabi Muhammad saw mulai terpinggirkan dan tidak diajarkan pada umat Islam
.
Apakah wasiat Nabi Muhammad saw yang merupakan bentuk pengutamaan beliau atas keluarganya seperti halnya tindakan nepotisme sahabat Utsman yang didorong oleh rasa kemanusiaannya, yang akhirnya kebijakan tersebut membunuh dirinya sendiri?.
“Itulah (karunia) yang Allah menggembirakan hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh. Katakanlah: “Aku tidak meminta kepadamu upah untuk itu kecuali kasih sayang kepada keluarga”. dan barangsiapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan pula baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Berterimakasih.” (al-Syura: 23). .
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (al-Ahzab: 33).
Ayat di atas dan banyak hadits-hadits lain menunjukkan bahwa perintah Nabi Muhammad saw kepada semua umat Islam agar mencintai, mengutamakan, mengikuti, bahkan memasukkan ahli bait Nabi Muhammad saw dalam bacaan shalawat merupakan bagian dari perintah Allah Maha Bijaksana yang disampaikan melalui nabi-Nya.
.
Untuk keperluan perintah tersebut, Allah dengan cara-Nya yang misterius menyiapkan semua yang diperlukan. Allah menciptakan pribadi-pribadi suci berkualitas dari keturunan langsung Nabi Muhammad saw untuk menjaga umat Islam sampai akhir zaman. Merekalah yang disebut ahli bait Muhammad saw (setidaknya yang menjadi kesepakatan seluruh umat Islam adalah Nabi Muhammad saw, Sayyidah Fatimah, Ali, dan kedua putranya Hasan dan Husain). Kedudukan tinggi mereka di sisi Allah dan Nabi-Nya diketahui dengan pasti tidak hanya oleh kalangan ulama biasa melalui banyaknya riwayat Nabi Muhammad tentang mereka. Kalangan ulama khash, sebagai pemegang rahasia Tuhan, pun mengetahui kedudukan mereka dengan jelas. Sebut saja Ibnu Arabi, ia memandang bahwa generasi Fatimah al-Zahra sebagai generasi suci secara dzati. “Sedekat-dekat manusia kepada Rasulullah saw adalah Ali bin Abi Thalib, imam semesta dan pemegang rahasia para nabi seluruhnya”; “Akar dan pokok pohon Tuba berada di kediaman Ali bin Abi Thalib”, adalah beberapa pengakuan beliau akan keutamaan dan keunggulan Ahli bait Nabi Muhammad saw
.
Contoh lainnya adalah Jalal al-Din al-Rumi. Ia menjuluki Ali bin Abi Thalib dengan lebih dari 50 gelar dalam Matsnawinya. Ali sebagai kebanggaan setiap Nabi; sebagai kebanggaan setiap wali; singa Tuhan; cahaya di atas cahaya; yang tenggelam dalam cahaya Allah, dan lain sebagainya. Bahkan ketika mengomentari peristiwa pembunuhan Husain as, satu kejadian selain pembunuhan Yahya bin Zakariya as yang menyebabkan langit menangis darah, ia mengatakan: “Tidakkah engkau tahu bahwa hari Asyura adalah hari duka cita bagi satu jiwa yang lebih utama ketimbang seluruh abad? Bagaimana bisa tragedi ini dianggap ringan oleh seorang mukmin hakiki? Kecintaan kepada anting (Husain) sama dengan kecintaan kepada telinga (Nabi Muhammad saw). Dalam pandangan mukmin sejati, duka cita kepada ruh murni lebih agung ketimbang ratusan banjir pada (zaman) Nuh”.
.
Akhirnya, Tuhan memberikan dua pilihan pada kita semua. Mengecewakan Nabi Muhammad saw atau mencintai ahli baitnya di zaman manusia mendapat kebebasan berpikir, bersuara dan berkeyakinan seperti sekarang ini.

Kamis, 17 Januari 2013

Para Imam as Itu Maksum

1.     Dalam kamus, secara leksikal,  disebutkan bahwa imam berarti pemimpin, dan imam maksudnya adalah seseorang yang memimpin dan orang lain mengikutinya.

Dalam Mufrâdat-nya, Raghib berkata, “Imam adalah orang yang diikuti.”[1]
2.     Sementara itu, secara teknis, dalam ilmu Kalam terdapat definisi yang beragam mengenai imâmah ini.
 
Definisi imâmah dalam perspektif Syiah di antaranya adalah:
Kepemimpinan umum agama yang bertanggungjawab untuk mendorong masyarakat dalam memelihara dan menjaga kepentingan agama dan dunia, dan mengingatkan kepada mereka terhadap segala bahaya berdasarkan kepentingan tersebut.[2]
Namun dari pandangan Ahlusunnah imâmah didefinisikan demikian: Imâmah adalah kepemimpinan dan pengawas umum dan meluas terhadap persoalan-persoalan agama dan dunia masyarakat sebagai pelanjut Rasulullah Saw.[3]
3.     Makna dan definisi ismah: ismah secara leksikal bermakna penjagaan dan penghalang, sedangkan dalam istilah ilmu Kalam adalah: sifat inheren dalam (malakah) jiwa yang meniscayakan tiadanya penentangan terhadap kewajiban Ilahi dan malakah jiwa ini akan menjaga seseorang dari melakukan kesalahan.
Ismah merupakan sebuah malakah yang meniscayakan ketiadaan penentangan atas tugas-tugas yang diwajibkan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, meskipun ia memiliki kekuatan untuk menentang.[4]
Syiah meyakini bahwa imâmah tak lain adalah kelanjutan risalah dan kenabian, hanya saja Rasulullah Saw adalah pendiri syariat dan menerima wahyu, sedangkan fungsi seorang imam adalah penjelas, penjaga dan pemelihara syariat tersebut. Oleh karena itu, imam dalam keseluruhan tingkatannya setara dengan Rasulullah  Saw, kecuali dalam masalah turunnya wahyu.[5] Semua kondisi yang dibutuhkan serta dianggap perlu bagi Nabi, seperti ilmu dan pengenalan-pengenalan terhadap prinsip-prinsip Islam, cabang-cabang dan seterusnya di antaranya ismah dari dosa dan kesalahan baik dalam keadaan sembunyi- sembunyi maupun terang-terangan, kondisi-kondisi ini juga sama persis dianggap perlu dan urgen bagi imam, dan karena tidak ada cara untuk mengetahui sifat ismah selain melalui nash dan penjelasan Tuhan, maka imâmah sebagaimana nubuwah merupakan sebuah kedudukan penentuan, dan dikatakan bahwa yang menentukan penanggungjawab kedudukan ini adalah Tuhan.
Akan tetapi bertolak belakang dengan Syiah, Ahlusunnah meyakini bahwa kedudukan dan tanggungjawab besar agama dan sosial ini merupakan pemberian kolektif, yang diserahkan oleh masyarakat kepada khalifah, dan khalifah menduduki posisi ini karena terpilih melalui pemilihan. Makna ini bisa ditemukan dengan mencermati definisi yang disajikan oleh kedua kelompok (Syiah dan Ahlusunnah).
Sekarang mari kita perhatikan penggalan dari argumen-argumen kedua kelompok
 
a.       Dalil rasional urgensi ismah bagi Imam
1.     Karena imam adalah penjaga syariat dan penjelas risalah para nabi serta pembimbing manusia, maka imam harus seratus persen dipercaya dan diyakini oleh masyarakat dan tanpa adanya kemaksuman, kepercayaan ini akan menjadi sirna.
2.     Jika imam melakukan dosa, maka penghormatan dan popularitasnya akan keluar dari kalbu-kalbu manusia, dengan demikian mereka tidak akan lagi mengikuti dan mentaatinya, sehingga kesimpulannya manfaat penentuan imam akan ternafikan.[6]
3.      Jika imam tidak maksum dan melakukan dosa, maka menghukumnya dari sisi amar makruf dan nahi mungkar menjadi wajib, sementara reaksi seperti ini terhadap imam, pertama: akan menjatuhkan tujuan ditentukannya Imam, kedua: bertentangan dengan ayat taat, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-(Nya) dan ulil amri (para washi Rasulullah)[7], karena ayat di atas menyebutkan tentang ketaatan terhadap imam dan penghormatan terhadap kedudukan beliau secara mutlak.[8]
4.     Imam sebagaimana halnya Rasulullah Saw adalah penjaga syariat, oleh karena itu harus maksum, karena yang dimaksud dengan menjaga dan memelihara adalah menjaga ilmu dan amal, dan jelas, penjagaan syariat dalam ilmu dan amal hanya bisa diterima dengan keberadaan ismah dan kesucian, karena non-maksum minimal akan terjebak dalam kesalahan, dan jika kita mencukupkan pada penjagaan sebagian syariat saja, berarti sebagian yang lainnya akan terdiskreditkan dari pandangan agama, sedangkan urgensi menghukumi sebaliknya, karena Rasulullah Saw diutus untuk mengajarkan seluruh hukum-hukum.
5.     Filosofi keberadaan penentuan Imam sebagaimana yang telah dijelaskan, adalah membimbing masyarakat untuk menghindari kesalahan yang biasanya menyebabkan deviasi intelektual dan praktisi, dan jika imam sendiri melakukan kesalahan serta tidak terbebas dari kesalahan, maka sesuai dengan filosofi urgensi penentuan imam, berarti kebutuhan akan kehadiran seorang imam guna mengingatkan kesalahan dan memberikan hidayah kepadanya, juga merupakan sebuah persoalan yang urgen baginya, dengan demikian imam yang dibutuhkan kehadirannya ini haruslah maksum, dan jika imam yang ini pun tidak maksum, berarti harus terdapat imam lainnya yang maksum, dan demikian seterusnya, walhasil, kebutuhan terhadap kehadiran imam akan berkelanjutan terus tiada henti, dan ini tak lain adalah tasalsul (akhir yang tak berujung), dimana menurut hukum akal adalah absurd dan batil. Jadi harus berhenti pada imam maksum yang ismah-nya telah menjiwa dan memiliki kemampuan untuk memberikan hidayah kepada selainnya tanpa terlihat adanya kesalahan dan penyimpangan dalam dirinya.[9]
 
b.    Argumentasi Refernsial (Naqli)
Dalam al-Quran al-Karim terdapat ayat-ayat mengenai ismah para nabi dan para imam As, dimana di sini kami akan menyinggung sebagian dari ayat-ayat tersebut:
1.     Ayat imâmah, "Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu ia menunaikannya (dengan baik). Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. Ibrahim berkata, “Dan dari keturunanku (juga)?” Allah berfirman, “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim.”[10] Ayat ini menjelaskan bahwa janji Tuhan yang tak lain adalah pengangkatan imâmah tidak akan dilakukan pada orang-orang zalim. Ini dari satu sisi, sementara dari sisi lain, setiap dosa, baik dosa kecil maupun besar adalah zalim dan menjadi hal yang tidak diridhai Tuhan, dengan alasan, karena dalam salah satu ayatnya Allah swt berfirman, “Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim.”[11]
2.     Menurut ayat ini, dosa, baik kecil maupun besar, semuanya dianggap zalim, karena pada akhirnya merupakan ketidaktaatan dan kelalaian terhadap apa yang diperintahkan Tuhan, oleh karena itu, di sini terdapat dua poin pasti:
a.     Setiap dosa, baik kecil maupun besar dikarenakan hal tersebut merupakan penentangan dan ketidaktaatan terhadap aturan-aturan Ilahi, maka dianggap zalim.
b.    Janji Tuhan tidak termasuk bagi orang-orang yang zalim.
Jadi kesimpulannya, imâmah merupakan janji dan ditetapkan oleh Tuhan,[12] dan al-Quran al-Karim menyatakan bahwa pilihan dan penetapan Ilahi ini hanya akan diberikan kepada orang-orang yang tidak tercemar oleh kezaliman. Dari sisi lain kita mengetahui bahwa setiap dosa, berarti minimal telah menzalimi diri sendiri, dan dalam perspektif al-Quran, setiap pendosa disebut zalim. Dengan demikian, para Imam As yang telah diangkat menjadi Imam oleh Tuhan, berarti terbebas dan suci dari segala kezaliman dan dosa.[13]
3.     Ayat tathhir, “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan menyucikan kamu sesuci-sucinya.[14]
Implikasi ayat ini terhadap ismah dan kesucian Ahlulbait As terletak pada poin bahwa hubungan kehendak Ilahi dengan pensucian dan pemurnian Ahlulbait dari segala bentuk kotoran batin ialah sama dan setara dengan kesucian mereka dari setiap dosa; karena yang dimaksud dari “rijz” (kotoran) dalam ayat ini adalah segala keburukan pikiran, moral maupun perilaku dimana dosa merupakan manifestasi yang sangat jelas darinya, dan karena kehendak ini berlaku untuk orang-orang tertentu dan tidak untuk semua umat, maka wajarlah jika ayat tathhir ini berbeda dengan kehendak pembersihan yang terdapat pada manusia pada umumnya. Kehendak pembersihan yang terdapat pada umat muslim secara umum merupakan kehendak tasyri’i,[15] yang mungkin saja tidak akan terwujud dalam diri seseorang karena ketidaktaatannya, sementara kehendak yang ini, merupakan kehendak takwini yang tidak akan terpisah dari tujuan dan yang berhak memiliki kehendak tersebut (suci dari dosa dan kesalahan).[16]
4.     Ayat ketaatan, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-(Nya) dan ulil amri (para washi Rasulullah) di antara kamu.[17]
Ayat ini juga termasuk ayat-ayat yang menunjukkan ismah dan kesucian para imam As, karena ayat ini menjelaskan tentang ketaatan terhadap Rasulullah Saw dan Ulilamri secara mutlak dan tidak mensyaratkan syarat apapun. Ketaatan mutlak terhadap Rasulullah Saw dan Ulilamri akan dianggap benar ketika berada dalam lingkup ketaatan Tuhan demikian juga ketika ketaatan terhadap mereka ini tidak kontradiksi dengan ketaatan kepada-Nya, dan jika tidak demikian perintah terhadap ketaatan mutlak kepada Tuhan dan ketaatan mutlak kepada orang-orang yang terjebak dalam kesalahan dan penyimpangan akan menjadi sebuah hal yang kontradiksi dan berlawanan.[18]
5.     Hadis Al-Tsaqalain: di dalam hadis yang merupakan sebagian dari hadis-hadis mutawatir dan diriwayatkan oleh Syiah maupun Ahlusunnah ini dikatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Aku akan meninggalkan kalian dengan meletakkan dua pusaka berharga di antara kalian yaitu Kitabullah dan Ahlulbaitku, keduanya tidak akan berpisah hingga bertemu denganku di telaga Kautsar.”
 
 
Berdasarkan hukum hadis ini dimana Rasulullah Saw menempatkan Ahlulbait dan keturunannya sejajar dengan al-Quran dan menegaskan bahwa keduanya tidak akan terpisahkan, hal ini merupakan argumentasi yang jelas atas ismah dan kesucian mereka, karena melakukan dosa sekecil apapun meskipun disebabkan oleh kesalahan dan kekeliruan, hal ini akan berarti sebagai keterpisahan praktisi dari al-Quran. Oleh karena itu, sebagaimana halnya al-Quran yang terjaga dari segala kesalahan dan kekeliruan, para imam As pun harus terbebas dan suci dari segala kesalahan, baik kesalahan pikiran maupun perilaku.
Setelah jelas bahwa imam sebagai khalifah dan pelanjut Rasulullah Saw harus maksum dan suci dari segala dosa dan kesalahan, menjadi jelaslah bahwa tidak ada cara yang tersisa untuk mengetahui sifat ismah dalam diri seseorang yang merupakan penerus Rasulullah  Saw ini, selain melalui penjelasan Tuhan, karena hanya Dialah yang Maha Mengetahui terhadap segala yang tersembunyi.
Sekarang, kita akan mencoba memperhatikan kelanjutan nash-nash secara umum yang menjelaskan tentang penentuan obyek (misdâq) imam yang harus maksum.
Nash dan penjelasan Rasulullah Saw mengenai imâmah Imam Ali As ini banyak ditemukan dalam berbagai tempat dan telah diterima oleh kalangan Syiah maupun Ahlusunnah serta terdapat dalam literatur-literatur riwayat kedua kelompok, salah satu yang paling jelas di antara nash-nash ini adalah peristiwa Ghadir Khum, momen dimana sesuai perintah Allah Swt, Rasulullah Saw memperkenalkan Imam As sebagai penerusnya, dalam kesempatan ini beliau bersabda, “Siapa yang menganggapku sebagai pemimpinnya, maka ketahuilah bahwa Ali adalah pemimpinnya.”[19]
Atau, Rasulullah Saw bersabda kepada para sahabatnya, “Menyerahlah kepada Ali dalam urusan pemerintahan dan keagamaan umat muslim.”[20]
Demikian juga pada tempat lain, sembari memegang tangan Ali As dan menunjuknya, beliau bersabda, “Lelaki ini (Ali) adalah khalifah dan penerusku di kalangan kalian sepeninggalku, oleh karena itu dengar dan taatilah dia.”[21]

Sementara, mengenai para imam maksum setelah Imam Ali As juga telah diperkenalkan melalui Rasulullah Saw, dan para imam sebelumnya juga akan memperkenalkan dan menetukan maksum setelahnya; misalnya hadis ihwal Imam Husain As yang dinukil dari Rasulullah bahwa beliau bersabda, “Ini adalah putraku, ia adalah seorang imam, putra imam, saudara imam, ayah dari sembilan orang Imam dimana kesembilannya adalah Qâim. Ia adalah hujjah, putra hujjah, saudara hujjah dan ayah dari sembilan hujjah.”[22]
Untuk ringkasnya, kami mencukupkan diri pada satu riwayat ini saja, dan untuk informasi lebih detil dalam masalah ini , para pembaca yang budiman dapat merujuk pada kitab-kitab berikut: An-Najatu fi al-Qiyâmah, Ibnu Maitsam Bahrani; Muntakhab al-Atsâr, Shafi Gulpaigani; Al-Ghadir, Allamah Amini; dan indeks-indeks pertanyaan yang terdapat pada site ini:
1.     Ismah para Nabi dalam Perspektif Al-Quran, Pertanyaan 112 (situs: 998)
2.     Ismah Manusia-manusia Biasa, Pertanyaan 104 (situs: 961)
3.     Penyebab Keterbatasan Ahli Bait hanya pada Beberapa Orang , Pertanyaan 243 (situs: 1850)


[1] . Raghib Ishfahani, Mufrâdat Alfâz-e Al-Qurân, klausul imâm
[2] . Khawajah Nashir Thusi, Qawâ’id al-‘Aqâid, hal. 108.
[3] . Qusyaji, ‘Alauddin, Syarh Tajrid, hal. 472.
[4] . Mudzaffar, Muhammad Ridha, Dalâil al-Shidq, jil. 2, hal. 4.
[5] . Rasulullah Saw bersabda kepada Imam Ali As, “Kedudukanmu di sampingku sebagaimana kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku”, Sireh-ye Ibnu Hisyam, jil. 2, hal. 52.
[6] . Mudzaffar, Muhammad Ridha, Dalâil al-Shidq, jil. 2, hal. 8-10.
[7] . Qs. Al-Nisa (4): 59.
[8] . Mudzaffar, Muhammad Ridha, Dalâil al-Shidq, jil. 2, hal. 8-10.
[9] . Muchtar Mazandarani, Muhammad Husain, Imâmat wa Rahbari, hal 59.
[10] . Qs. Al-Baqarah (2): 124.
[11] . Qs. Al-Baqarah (2): 229.
[12] . Dengan demikian tidak ada sedikitpun hubungannya dengan pilihan masyarakat, elainkan telah dipilih oleh Tuhan Yang Maha Tinggi yang dikaruniakan bagi orang-orang yang berhak dan memiliki kapabilitas untuk memegang kedudukan ini. Tentunya aktualisasi maqam dan kedudukan Imam akan terwujud dengan pilihan dan baiat masyarakat.
[13] . Makna dari ismah para nabi dan imam bukanlah misalnya malaikat Jibril memegang tangan mereka (tentunya jika benar Jibril memegang tangan yang bersangkutan, maka pastilah ia juga tidak akan terjerumus dalam dosa dan kesalahan), melainkan ismah yang dimaksud di sini adalah ismah yang “dilahirkan karena iman”. Jika manusia memiliki iman dan mata hatinya menyaksikan Tuhan sebagaimana ia melihat matahari, maka tidak mungkin ia akan terjerumus dalam dosa dan kesalahan. Setelah sebelumnya para Maksum As diciptakan dari sulbi yang suci, selanjutnya riyadah, perolehan nuraniyah dan jiwa kemuliaan, telah menyebabkan mereka senantiasa menyaksikan dirinya berada di hadapan Tuhan yang Maha Mengetahui segala sesuatu dan menguasai seluruh persoalan (Imam Khomeini, Nubuwwat az Didgâh-e Imâm Khomeini, Tebyan, hal 124).
[14] . Qs. Al-Ahzab (33): 33.
[15]. Qs. Al-Ahzab: 33 (33); Qs.Al-Maidah(5): 6, dalam kelanjutan ayat wudhu, Allah swt berfirman, “Allah tidak hendak menyulitkanmu, tetapi Dia hendak membersihkanmu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
[16] . Subhani, Ja’far, Mansyur ‘Aqâ’id Imâmiyah, hal. 168-169. Perlu diketahui bahwa kehendak takwini hak atas ismah Ahlulbait tidak menegasikan kebebasan mereka, sebagaimana halnya keberadaan ismah pada diri para nabi juga tidak menyebabkan ternegasikannya kebebasan mereka.
[17] . Qs. Al-Nisa (4): 59.
[18] . Misbah Yazdi, Muhammad Taqi, Âmuzesy-e ‘Aqâid (Iman Semesta), hal. 203.
[19] . Allamah Amini, Al-Ghadir, jil. 1, hal. 207; Ibnu Maitsam Bahrani, Al-Najât fi al-Qiyâmah fi Tahqiqi Amr al-Imâmah, hal. 81.
[20] . Ibid.
[21] . Ibid.
[22] . Ibnu Maitsam Bahrani, Al-Najât fi al-Qiyâmah fi Tahqiqi Amr al-Imâmah, hal. 167.