Sabtu, 29 Desember 2012

Tahun (Baru) Masehi: Mitos Musyrik Romawi yang Diadopsi Gereja, Mengapa Umat Islam Merayakannya?

Tahun Masehi-dewa janus-januari-jpeg.imageTahun masehi mendasarkan perhitungannya pada peredaran matahari. Sementara Tahun Hijriyah mendasarkan perhitungannya pada peredaran bulan.
Jadi, sangat logis jika tahun hijriyah menyebut Muharram, Safar, Rabiul Awwal, dan seterusnya dengan nama BULAN.
Tetapi, adalah janggal, jika nama-nama Januari, Februari, Maret, dan seterusnya disebut sebagai nama-nama BULAN, sebab perhitungannya berdasarkan peredaran MATAHARI.
Jadi, yang logis, Januari, Februari, Maret, dan seterusnya disebut sebagai MATAHARI Januari, MATAHARI Februari, MATAHARI MARET, dan seterusnya. Mungkin terasa tidak enak ya menyebut Januari dan seterusnya sebagai MATAHARI, bukan BULAN?
Ketidaklogisan lainnya, misalnya, saat pergantian tahun, mengawali 1 Januari, tepat pada tengah malam jam 00.
Mestinya, perhitungan Masehi dimulai di siang hari saat sang mentari beredar, sebagaimana tahun hijriyah mengawali perhitungannya ketika bulan mulai mengorbit. Sebut misalnya, saat umat Islam menetapkan awal dan akhir Ramadhan dengan melihat bulan atau mendasarkan perhitungannya pada bulan.
Begitulah. Nanti kita akan temukan lagi ketidaklogisan nama-nama MATAHARI ini, semisal September yang berarti TUJUH, tetapi ditempatkan pada posisi ke-9.
JANUARI. Mengapa tahun Masehi diawali Januari? Semula Januari bukan yang pertama, melainkan Maret.
Tapi ketika gereja mengadopsi kalendernya Romawi Kuno, Maret berubah menjadi Januari. Alasannya, untuk yang pertama harus baik. Sementara Maret identik dengan peperangan.
Januari Dalam mitologi musyrik Romawi Kuno, dikenal sebagai dewa berwajah dua. Satu menghadap ke depan dan satunya ke belakang.
Untuk menentukan mana yang depan atau belakang, ditandai dengan wajah yang menghadap depan selalu tersenyum dan optimis, sedangkan yang menghadap ke belakang selalu terlihat muram dan sedih.
Dewa itu bernama Janus, yang bisa pula berarti pintu, gerbang, gapura atau lorong masuk.
Itulah mengapa untuk yang pertama setiap tahun dinamakan dengan JANUARI. Januarius Mensis (Latin, Januari) bisa dikatakan berwajah dua. Wajah yang satu menghadap ke tahun sebelumnya dan lainnya ke tahun berjalan.
Dewa Janus dikatakan bermuka dua, namun, menurut kepercayaan Romawi kuno, bermuka dua dalam konteks waktu.Tahun Masehi-dewa janus-januari-jpeg.image
FEBRUARI. Merupakan periode kedua dalam tahun Masehi. Berasal dari nama dewa Februus, Dewa Penyucian.
MARET. Merupakan periode ketiga dalam tahun Masehi. Berasal dari nama Dewa Mars, Dewa Perang.
Pada mulanya, Maret menempati posisi pertama dalam kalender Romawi, lalu pada tahun 45 SM Julius Caesar menambahkan Januari dan Februari di depannya sehingga Maret “dikudeta” oleh gereja menjadi yang ketiga.
Alasannya untuk memulai yang pertama, harus penuh optimisme menatap ke depan. Sementara Maret identik dengan peperangan, sebab Maret yang dari kata Dewa Mars adalah Dewa Perang. Jadi, gereja juga meyakini akan keyakinan musyrik Romawi kuno itu.
APRIL. Merupakan “Matahari” keempat dalam tahun Masehi. Berasal dari nama Dewi Aprilis, atau dalam bahasa Latin disebut juga Aperire yang berarti ”membuka”.
Diduga kuat sebutan ini berkaitan dengan musim bunga dimana kelopak bunga mulai membuka. Juga diyakini sebagai nama lain dari Dewi Aphrodite atau Apru, Dewi Cinta orang Romawi.
MEI. Merupakan “Matahari” yang kelima dalam kalender Masehi. Berasal dari nama Dewi Kesuburan Bangsa Romawi, Dewi Maia.
JUNI. Merupakan “Matahari” yang keenam dari tahun Masehi. Berasal dari nama Dewi Juno.
JULI. Jadi urutan ketujuh dari tahun Masehi. Di periode “Matahari” ini Julius Caesar lahir, sebab itu dinamakan Juli.
Sebelumnya Juli disebut sebagai Quintilis, yang berarti kelima dalam bahasa Latin. Hal ini lantaran kalender Romawi pada awalnya menempatkan Maret pada urutan pertama.
Tahun masehi-caesar_augustus_bust-jpeg.image
Kaisar Agustus
Pergeseran dari Maret yang semula di urutan pertama menjadi ketiga, berdampak pada urutan berikutnya.
AGUSTUS. Merupakan urutan kedelapan dalam kalender Masehi. Seperti juga nama Juli yang berasal dari nama Julius Caesar, maka Agustus berasal dari nama kaisar Romawi, yaitu Agustus.
Pada awalnya, ketika Maret masih menjadi yang pertama, Agustus menjadi yang keenam dengan sebutan Sextilis.
SEPTEMBER. Merupakan “Matahari” kesembilan dari tahun Masehi. Nama ini berasal dari bahasa Latin Septem, yang berarti tujuh. Tapi janggalnya, sampai sekarang September di urutan kesembilan, padahal artinya “tujuh”.
Sejarahnya, September bertahan di posisi ketujuh dalam kalender Romawi sampai dengan tahun 153 SM.
OKTOBER. Merupakan “Matahari” kesepuluh dari tahun Masehi. Nama ini berasal dari bahasa Latin Octo, yang berarti delapan.
Lucu memang, meski artinya “delapan”, tetapi di kalender Masehi si Octo menempati urutan kesepuluh. Oktober bertahan di posisi kedelapan dalam kalender Romawi sampai dengan tahun 153 SM.
NOVEMBER. Merupakan “Matahari” kesebelas dari tahun Masehi. Nama ini berasal dari bahasa Latin Novem, yang berarti sembilan.
Tapi, janggalnya lagi, meskipun artinya “Sembilan”, di kalender masehi si Novem digeser jadi yang kesebelas.
November bertahan di urutan kesembilan dalam kalender Romawi sampai dengan tahun 153 SM.
DESEMBER. Merupakan “Matahari” keduabelas atau yang terakhir dari periode tahun Masehi. Nama ini berasal dari bahasa Latin Decem, yang berarti sepuluh.
Walaupun artinya “sepuluh”, di kalender masehi sang “Decem” digeser menjadi yang keduabelas atau terakhir.
Desember di urutan kesepuluh dalam kalender Romawi bertahan sampai dengan tahun 153 SM.
Pada Desember inilah diyakini lahirnya Dewa Matahari (25 Desember) yang kemudian diadopsi oleh Kristen menjadi perayaan gereja, yakni Natal Yesus Kristus.
Itulah keanehan dan kejanggalan nama-nama hitungan “Matahari” pada Tahun Masehi yang mengadopsi mitosnya bangsa Romawi Kuno. Dan, lebih aneh bin janggal lagi, umat Islam merayakannya, tanpa memahami akar dan historisnya.Tanpa pengetahuan tentangnya.
Sama halnya dengan natal 25 Desember yang mengadopsi kelahiran dewa matahari, berakar dari Romawi Kuno. Maka, sesungguhnya natal 25 Desember dengan 1 Januari, awal tahun baru masehi, itu adalah satu paket.
Akar, sumber dan historisnya sama. Kalangan gereja “memborong” dua “tema” sekaligus: tema ‘natal’ dan ‘tahun baru masehi 1 Januari’, sehingga jadi semarak.
Jadi, aneh dan janggal pula, jika ada sementara pihak yang mengatakan: mengucapkan selamat natal haram, tapi mengucapkan tahun baru 1 Januari tak apa! Yaa Robb, na’uudzubillaahi mindzaalik.
TAHUN HIJRIYAH
Berbeda dengan penetapan kalender Hijriyah yang dilakukan pada zaman Umar bin Khaththab, diambil dari peristiwa hijrahnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (ditemani Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu) dari Makkah ke Madinah.
Kalender Hijriyah juga terdiri dari 12 bulan (nah, penyebutan bulan di sini adalah logis, karena tahun hijriyah mendasari perhitungannya pada bulan), dengan jumlah hari berkisar 29-30 hari. Penetapan 12 bulan ini sesuai dengan firman ALLAH SWT:
”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) ad-Din yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa,” (At Taubah: 36).
1. Muharram
Artinya, yang diharamkan atau menjadi pantangan. Di bulan Muharram, dilarang untuk berperang.
2. Shafar
Artinya, kosong. Di bulan ini, lelaki Arab pergi untuk merantau atau berperang.
3. Rabi’ul Awal
Artinya masa kembalinya kaum lelaki yang merantau (shafar).
4. Rabi’ul Akhir
Artinya akhir masa menetapnya kaum lelaki.
5. Jumadil Awal
Artinya awal kekeringan. Maksudnya, mulai terjadi musim kering.
6. Jumadil Akhir
Artinya akhir kekeringan. Dengan demikian, musim kering berakhir.
7. Rajab
Artinya mulia. Zaman dahulu, bangsa Arab sangat memuliakan bulan ini.
8. Sya’ban
Artinya berkelompok. Biasanya bangsa Arab berkelompok mencari nafkah.
9. Ramadhan
Artinya sangat panas. Bulan yang memanggang (membakar) dosa, karena di bulan ini kaum Mukmin diharuskan berpuasa/shaum sebulan penuh.
Men Leading Camels in Desert
Tahun Hijriyah: Tonggak peradaban Islam
10. Syawwal
Artinya kebahagiaan, peningkatan (setelah ujian Ramadhan, mestinya kualitas amaliah dan hidup menjadi meningkat).
11. Zulqaidah
Artinya waktu istirahat bagi kaum lelaki Arab.
12. Zulhijjah
Artinya yang menunaikan haji.
Rio E. Turipno, S.Psi  (diambil dari Konsultasi Pelajar Muslim)
*Artikel ini telah mengalami pengeditan dan penambahan seperlunya

Rabu, 14 November 2012

Imam Sayafi’i itu Sunni yang Syi’ah..

Persembahan Untuk Ustadz Firanda dan Para Wahhâbi Yang Nawashib!
Sejak dahulu, kaum nashibi (pembenci Sayyidina Ali dan keluarga Nabi saw.) menteror para pecinta Nabi saw. dan keluarga beliau ra. dengan segala cara keji!
Dimasa kekuasaan bani Umayyah yang ditegakkan di atas kezaliman dan kekejaman serta penyimpangan agama, Mu’awiyah, Yazid, dan para raja zalim setelahnya tidak segan-segan memerangi, membantai dan membunuh keturunan Nabi saw. dan para pecinta mereka!
Para raja zalim itu mendapat dukungan penuh dari kaum munafikin yang berpura-pura menampakkan Islam sementara kedengkian kepada Nabi saw. dan Dakwah Islam tertendam dalam lubuk jiwa-jiwa mereka! Mereka menampakkan kemunafikan dan kedengkian itu dengan kebencian yang mendalam kepada Sayyidina Ali, Sayyidatuna Fatimah, Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain serta keturunan mereka yang diberkahi Allah SWT. Serta menteror para pecinta mereka!
Setelah masa gelap kekuasaan para raja tiran itu berlalu dan tumbang serta terlempar ke neraka Jahannam, para pendukung mereka tetap saja gentayangan di mana-mana mengganggu para pecinta Nabi dan Ahlul Bait beliau!
Mereka, dalam menjalan aksi teror, melakukan berbagai caara di antaranya, menuduh setiap orang yang mencintai Nabi dan keluarga beliau; Ahlul Bait ra. dengan tuduhan keji yaitu Syi’ah Rafidhah! Semua itu mereka lakukan agar umat Islam mengosongkan jiwa-jiwa suci mereka dari kecintaan kepada keluarga Nabi ra.
Siapa saja yang berani berterang-terangan mencintai Sayyidina Ali dan Ahlul Bait pasti akan mereka kecam sebagai Syi’ah Rafidhah!
Jadi, di mata mereka, Syi’ah Rafidhah itu adalah identik dengan kecintaan kepada Ahlul Bait Nabi ra.
.
Pendahulu Kaum Wahhâbi Menteror Imam Syafi’i!
Imam sunni, Imam Syafi’i satu dari sekian banyak ulama Ahlusunnnah yang mereka teror! Hanya karena kecintaannya kepada Ahlul Bait Imam Syafi’i mereka kecam dan mereka tuduh sebagai Syi’ah Rafidhah!
Sementara kaum munafik yang menvonis beliau dengannya tidak mengerti apa itu Syi’ah dan apa itu Rafidhah? Persis dengan kaum Wahhabi Salafi Nashibi zaman kita yang selalu melontarkan tuduhan tanpa mengerti makna tuduhan itu!
Perhatikan kekejian tuduhan para pendahulu kaum  Wahhabi Salafi Nashibi terhadap Imam kita; Imam Syafi’i ra. yang langsung beliau tanggapi dengan tegar dan tegas!
.

قَالُوا تَرَفَّضْتَ! قلتُ كَلاَّ *** ما الرُفْضُ دينِيْ وَ لاَ اعْتقادِيْ

و لـكِنْ تَوَلَّيْتُ دونَ شَكٍّ  ***  خيرَ إمامٍ  و خيرَ هـاديِ

إنْ كـانَ حُبُّ الوَصِيِّ رَفْضًا  ***   فَـإِنَّنِيْ أَرْفَضُ العبادِ

.
Mereka berkata; kamu telah berfaham Rafdh! Aku berkata: Tidak! ** Kerafidhian bukan agamaku dan bukan keyakinanku.
Akan tetapi aku tanpa ragu berwilayah ** kepada sebaik-baik Imam dan sebaik-baik pemberi petunjuk.
Jika mencintai washi (Ali) itu kerafidhian ** maka ketahuilah bahwa aku paling rafidhinya manusia
.
Jadi dalam fitnahannya itu, para musuh Allah dan Rasul-Nya menuduh siapapun yang mencintai Sayyidina Ali yang (disebut Imam Syafi’i dengan gelar Washi) dan Ahlul Bait ra. adalah Rafidhi! Dan kecintaan kepada Sayyidina Ali yang Ahlul Bait ra. sebagai kerafidhian!

Dalam kesempatan lain Imam Syafi’i ra. mengeluhkan kejahatan fitnahan dan tuduhan yang disebarkan dalam rangka menebar teror keji itu.

.

إنْ كانَ رَفْضًا حُبُّ آلِ محمد *** فليَشْهَدِ الثقلاَنِ أَنَّيْ رافِضِيْ

Jika mencintai keluarga Muhammad itu kerafidhian, ** maka hendaknya manusia dan jin menyaksikan bahwa aku adalah seorang Rafidhi
.
ustad husain ardilla :
Berkat ketegaran dan ketegasan sikap Imam Syafi’i, maka kampanye kaum nashibi; musuh Allah dan Rasul-Nya itu benar-benar terhantam… umat Islam kembali kepada kesadaran agama bahwa kecintaan kepada Sayyidina Ali ra. (yang selama masa kekuasaan para raja bani Umayyah dilaknati sesuai perintah wajib Mu’awiyah; raja pertama rezim tiran itu) adalah bagian dari kewajiban agama! Tidak ada tempat lagi bagi tuduhan murahan dan menjijikkan itu di tengah-tengah masyarakat Muslim!
Kecintaan dan pembelaan kepada Sayyidina Ali dan Ahlul Bait ra. adalah keyakinan yang diimani kaum Muslimin… Semua merasa aman dan mantap dengan kecintaan mereka kepada Sayyidina Ali dan Ahlul Bait ra. tanpa ada gangguan yang berarti kecuali dari sebagian orang jahil!
Tetapi dengan menyebarnya virus Salafisme Wahhâbisme yang dalam sisi identik dengan kesinisan sikap dan kebencian kepada Sayyidina Ali dan Ahlul Bait ra., dan di sisi lain identik dengan pengagungan musuh-musuh Sayyidina Ali dan Ahlul Bait ra. maka marak kembali tuduhan kepada siapapun yang mencintai dan membela  Sayyidina Ali dan Ahlul Bait ra. sebagai Syi’ah Rafidhah!
Jika dahulu Imam Syafi’i dituduh kaum munafik yang membenci Sayyidina Ali dan Ahlul Bait ra. sebagai Syi’ah Rafidhah! Maka kini giliran kami  juga mendapat teror itu dari pelanjut kesesatan kaum munafik!
Demikianlah sejarah mengulang dirinya sendiri!
Imam nasai rela mati syahid di siksa penduduk damaskus;
para pemuja si penganjur (da'i )ke dalan api 
neraka; mu'awiyah

 Kejahatan Mu’awiyah terlalu banyak, tapi satu dulu saya sebutkan di sini…Mu’awiyah memerintah seluruh umat Islam agar melaknati Imam Ali KW dan menjadikan pelaknatan atas Imam Ali KW sebagai bagian inti dalam setiap pertemuan tidak terkecuali khutbah shalat jum’at! Baca kitab karangan seorang Habib mulia bernama Habib MUhammad bin Aqil bin Yahya yang berjudul an Nashaih al Kafiyah!
.
Imam Bukhari dan para ahli hadis lainnya telah meriwayatkan bahwa Mu’awiyah adalah PENGANJUR KEPADA API NERAKA! Lalu apakah ada yang berhak keberatan membeicarakan kejahatan2 Muawiyah. Para ulama  telah mengecamnya seperti Imam Hasan al Bashri! lalu bagaimana dengan sikap para sahabt Mulia seperti Ammar bin Yasir dkk tentang Mua’wiyah?
Mereka yang “takut-takutan” membicarakan kejahatan Mu’awiyah dengan dalih bahwa dia adalah sahabat Nabi saw. dan setiap sahabat itu adalah adil adalah sedang terjebak oleh hadis-hadis atau ayat-ayat umum yang memuji para sahabat tanpa memahami dengan baik bahwa pujian itu bersifat umum.
Tetapi ada beberapa yang mesti harus dikecualikan mengingat kefasikan dan kejahatan bahwa statemen2nya yang terang2an menampakkan kefasikan dan atau bahkan kekafiran! Dan tidak jarang juga (walaupun saya yakin yang Anda sebutkan itu tidak termasuk) yang dalam membela-bela Mu’awiyah berpura-pura seakan sedang menjaga kesucian seluruh sahabat.. padahal ujung2nya yang menjadi tujuan inti pembelaan mereka hanya bani Umayyah dan kaum munafik yang bersekongkol dengan mereka!
Mu’awiyah sebagai penulis wahyu itu tidak terbukti! Mu’awiyah bertobat juga tidak ada buktinya! Kalau si Penganjur kepada api neraka (menurut hadis Imam Bukhari itu) memang bertaubat, lalu mengapakah ia menunjuk yazid putranya yang dikenal fasik dan bejat itu sebagai Khalifah?!
Kita jangan mau diadu domba oleh Wahhabi sehingga ikut-ikutan memerangi dan memerangi ajaran Syi’ah! Alhamdulillah, kami sudah bisa aktif lagi.

Persembahan Untuk Para Salafiyyun; Pemuja Pohon Terkutuk!

Selamanya kaum Nawâshib yang banyak kita temukan di kalangan mereka yang berkedok sebagai pengikut “Para Salaf Shaleh” (PS2) selalu berusaha membentuk opini bahwa sebagai seorang Sunni haruslah mencintai Mu’awiyah si gembong kaum sesat !
Dan ciri seorang yang menyimpang dari Ahlusunnah adalah kebencian kepada Mu’awiyah! Demikian kaum Nawâshib Salafi Wahhâbi itu melancarkan propagandanya!
Akan tetapi, itu hanya sebuah kepalsuan belaka! Para imam dan ulama agung Ahlusunnah –tentunya bukan mereka yang telah terinfeksi penyakit kenashibian- tidak pernah sudi mau mencintai dan mengagungkan kaum munafik!
Saya tidak sedang memaksa anggapan bahwa semua mereka yang mengaku sebagai Ahlusunnah berpandangan demikian terhadap Mu’awiyah. Karena kenyataannya, propaganda Mu’awiyah dan para penguasa tiran Bani Umayyah yang memerintah kaum Muslim dengan tangan besi dan penipuan telah mempengarui sebagian orang sehingga mereka tertipu!
Akan tetapi yang hendak saya katakan ialah bahwa syiah  telah dengan berani menantang berbagai seriko untuk mengatakan dan bersikap yang sebenarnya terhadap Mu’awiyah bin Abi Sufyan –si penganjur ke dalam api neraka Jahanam, seperti dikatakan Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya-!
Dan untuk menghemat waktu dan ruang saya akan menyajikan dokumen-dokumen penting tentang sikap para ulama dan para imam Ahlusunnah terhadap Mu’awiyah dan bagaimana para ulama dan para imam Ahlusunnah itu sama sekali tidak pernah dan tidak akan sudi mencintai Mu’awiyah bahkan mereka tidak segan-segan mencela dan mengecamnya!
 Mu’awiyah Dalam Pandangan Imam an Nasa’i (W.303 H)  
Adz Dzahabi –dan ia adalah ulama kebanggaan kaum Wahhâbi Salafi dan kaum pembenci keluarga Nabi saw.- berkata tentang Imam Nasa’i dalam kitabnya Siyar A’lâm an Nubalâ’,14/133:
“Pada Nasa’i terdapat sedikit kesyi’ahan dan penyimpangan terhadap musuh-musuh Imam Ali seperti Mu’awiyah dan ‘Amr bin ‘Âsh.”
Dan dalam kesempatan lain ia mengatakan bahwa demi keyakinannya itu Imam Nasa’i rela mati syahid disiksa penduduk damaskus; para pemuja si penganjur (da’i) ke dalam api neraka; Mu’awiyah!
Ustad Husain Ardilla:
Coba Anda perhatikan dan renungkan pernyataan adz Dzahabi di atas, bahwa Imam Nasa’i padanya terdapat sedikit kesyi’ahan! Mengapa beliau dituduh demikian? Jelas jawabnya, karena beliau membenci Mu’awiyah dan mencintai serta membela Imam Ali ra. Dan yakinlah, Anda atau siapapun yang berani terang-terangan membela Imam Ali dan membenci musuh-musuh beliau pasti akan segera dituduh oleh kaum Wahhabi Salafi sebagai Syi’ah! Dan itulah yang dialami oleh syiahali.wordpress.com !
Di mata kaum Wahhâbi Salafy, web ini adalah Syi’ah yang berbahaya! Mengapa demikian? Sebabsyiah  tidak sudi mencintai gembong kaum Munafik! Sebab syiah berani terang-terangan membela Sayyidina Ali ra. Bukankah demikian yang mereka tuduhkan kepada kami?!
Namun, Anda perlu ketahui bahwa kami tidak akan pernah hiraukan itu semua… biarkan anjing-anjing menggonggong kafilah tetap berjalan! Sebab memang kerjanya anjing adalah menggonggong! Jangan pernah menanti anijng mau kumpul-kumpul baca Maulid Barzanji atau baca Diba’aan!
  •     Mu’awiyah Dalam Pandangan Imam Al Hakim (W.405 H) 
Imam al hakim an Nisaburi adalah salah satu ulama besar Ahlusunnah wal Jama’ah yang agung. Beliau adalah penulis kitab al Mustadrak dan kitab-kitab lain yang sangat berharga dalam disiplin ilmu hadis. Tentang sikap kebencian dan penyimpangannya terhadap Mu’awiyah adalah bukan rahasia lagi. Adz Dzahabi melaporkan dalam Siyar A’lâm-nya,17/175 dan Imam as Subki dalam Thabaqât asy Syafi’iyah-nya4/163, bahwa ketika dikatakan kepada al Hakim, “Sampaikan hadis tentang keutamaan Mu’awiyah agar mereka berhenti mengganggumu!” beliau berkata, “Tidak mungkin aku sudi menyampaikannya!
Demikianlah, para pemuja Mu’awiyah tidak pernah berhenti mengganggu para ulama Ahlusunnah yang tidak sudi mencintai dan memuja Mu’awiyah!
  •  Mu’awiyah Dalam Pandangan Imam Abdurrazz ash Shan’ani (W.211 H)
 imam al hakim an Nisaburi adalah salah satu ulama besar Ahlusunnah wal Jama’ah yang agung. Beliau adalah penulis kitab al Mustadrak dan kitab-kitab lain yang sangat berharga dalam disiplin ilmu hadis. Tentang sikap kebencian dan penyimpangannya terhadap Mu’awiyah adalah bukan rahasia lagi. Adz Dzahabi melaporkan dalam Siyar A’lâm-nya,17/175 dan Imam as Subki dalam Thabaqât asy Syafi’iyah-nya4/163, bahwa ketika dikatakan kepada al Hakim, “Sampaikan hadis tentang keutamaan Mu’awiyah agar mereka berhenti mengganggumu!” beliau berkata, “Tidak mungkin aku sudi menyampaikannya!
Demikianlah, para pemuja Mu’awiyah tidak pernah berhenti mengganggu para ulama Ahlusunnah yang tidak sudi mencintai dan memuja Mu’awiyah!
  • Mu’awiyah Dalam Pandangan Imam Abdurrazz ash Shan’ani (W.211 H)
Imam Imam Abdurrazz ash Shan’ani adalah penulis kitab Mushannaf yang sangat terkenal. Beliau adalah guru besar Imam Ahmad bin Hanbal.
Adz Dzahabi melaporkan dalam Siyar A’lâm-nya,9/570 bahwa beliau berkata kepada seorang yang menyebut-nyebu nama Mu’awiyah di hadapannya, “Janagn engkau kotori majlis kami dengan menyebut anak Abu Sufyan!”
ustad husain ardilla :
Perhatikan wahai sobat, bagaimana Imam besar Ahlusunnah; Abdurrazz ash Shan’ani benar-benar tidak sudi mulutnya dikotori dengan menyebut nama gembong kaum munafik itu sehingga ia hanya mengatakan “anak Abu Sufyan”.
Lalu apakah kita akan membuat najis hati dan pikiran kita dengan mencintai dan mengagungkan putra Abu Sufyan dari hasil hubungannya dengan tante Hindun!
Jika Anda benar-benar berpegang dengan ajaran agama Anda pasti Anda tidak akan sudi mencintai kaum sesat! Kaum yang memusuhi Sayyidina Ali ra. dan memerintahkan umat Islam di setiap kesempatan untuk melaknati menantu tercinta Rasulullah, pejuang Islam sejati dan Khalifah  kaum Muslimin; Ali bin Abi Thalib ra.!
Apakah karena takut dari juluran lidah-lidah beracum kaum Salafi Wahhâbi yang segera akan menuduh Anda sebagai Syi’ah, Anda takut menyatakan akidah yang benar !
Saudaraku, waspadai makar jahat kaum nawâshib yang banyak menyelinap di tengah-tengah kaum Muslim dengan kedok sebagai pengikut Salafi yang hendak menipu Anda dengan mengatakan bahwa benteng kesunian Anda adalah kecintaan kepada Mu’awiyah dan keluarga besar Bani Umayyah; Abu Sufyan, Hindun, Yazid, Marwan bin Hakam Cs.
Hadis 12 khalifah menghancurkan mazhab sunni dan
membongkar kebohongan sunn
Hadis 12 khalifah menghancurkan mazhab sunni karena :
a. Khalifah sunni cuma 4 yakni Abubakar – Umar -USman dan Ali, sementara khalifah syiah ada 12
b. Dalam hadis shahih lain disebutkan bahwa khalifah umat islam adalah ahlulbait, Abubakar- Umar-Usman bukan ahlulbait, jadi mereka merampas kekhalifahan secara ilegal, maka mustahil ketiganya  dijamin surga
c. Ini artinya hadis Ghadir Kum membenarkan syi’ah tentang pengakatan Ali sebagai khalifah
d. Mayoritas sahabat berkhianat kepada wasiat Ghadir KUm




 

Khalifah Rasulullah Yang WAJIB di ikuti sesuai Hadist Rasulullah saww.

 

Dari Zaid bin Tsabit RA yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian dua Khalifah yaitu Kitab Allah yang merupakan Tali yang terbentang antara bumi dan langit, serta KeturunanKu Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan berpisah sampai menemuiKu di Telaga Surga Al Haudh. (Hadis Ini diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad jilid 5 hal 182, Syaikh Syuaib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad menyatakan bahwa hadis ini shahih. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir jilid 5 hal 154, Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid jilid 1 hal 170 berkata “para perawi hadis ini tsiqah”. Hadis ini juga disebutkan oleh As Suyuthi dalam Jami’ Ash Shaghir hadis no 2631 dan beliau menyatakan hadis tersebut Shahih.)
Hadis di atas adalah Hadis Tsaqalain dengan matan yang khusus menggunakan kata Khalifah. Hadis ini adalah hadis yang Shahih sanadnya dan dengan jelas menyatakan bahwa Al Ithrah Ahlul Bait Nabi SAW adalah Khalifah bagi Umat islam. Oleh karena itu Premis bahwa Sang Khalifah setelah Rasulullah SAW itu ditunjuk dan diangkat oleh Rasulullah SAW adalah sangat beralasan

 Kebohongan Mazhab Sunni terlihat pada hadis 12 khalifah
 yang mutawatir, Hadits ini tidak dapat dikenakan kepada 
empat khalifah karena jumlah mereka kurang dari dua belas !
 Banyak saudara-saudara kita dari madzhab Sunni cenderung menafsirkan Ulil Amr sebagai “penguasa di antara kalian”, yaitu penguasa kaum Muslimin. Penafsiran ini tidak bersandar kepada logika akal-sehat; mereka semata bersandar kepada daur sejarah.
Mayoritas kaum Muslimin masih berkutat sebagai sebuah budak  kaum monarki dan penguasa, menafsirkan dan menafsirkan ulang Islam dan al-Qur’an sesuai dengan selera penguasa.
Sejarah kaum Muslimin (seperti sejarah-sejarah bangsa lain) dipenuhi dengan nama penguasa yang nota-bene zalim, pelaku maksiat, dan tiranik yang telah menodai citra kudus Islam. Pembahasan ini  akan dipaparkan lebih jauh  pada akhir bagian tulisan ini.
Penguasa-penguasa ini senantiasa dan akan selalu, berkata kepada kita bahwa mereka adalah Ulul Amr yang disebutkan dalam ayat ini.
Jika Allah Swt memerintahkan kita untuk mentaati raja-raja dan penguasa-penguasa seperti ini, keadaan yang mustahil akan tercipta bagi kaum Muslimin. Pengikut-pengikut sial iniakan dikecam karena telah mencari kemurkaan Allah, terlepas dari apa yang mereka lakukan. Jika mereka mentaati penguasa-penguasa ini, mereka telah membangkang perintah Allah, “Janganlah kalian mentaati seorang pendosa”, dan jika mereka membantah kepada penguasa-penguasa tersebut, mereka tetap membantah perintah Allah untuk taat kepada penguasa Muslim.”
Jadi jika kita terima penafsiran ini, kaum Muslimin dilaknat dengan kemurkaan abadi baik mereka mentaati atau membantah penguasa yang bukan ma’sum tersebut.
Juga, ada penguasa Muslim yang berbeda akidah dan madzhabnya. Ada madzhab Syafi’i, Wahabi, Maliki, Hanafi, serta Syi’ah dan Ibadis. Sekarang, sesuai dengan penafsiran Ahli Sunnah yang berada di bawah seorang Ibadi Sultan (seperti di Oman) harus mengikuti ajaran madzhab Ibadi; dan mereka yang berada di bawah kekuasaan seorang Syiah (seperti di Iran) harus mengikuti ajaran madzhab Syiah.
Apakah orang-orang ini memiliki keberanian untuk mengikuti interpretasi ini hingga akhir penalaran logisnya?
Mufassir populer Sunni, Fakhruddin Razi, menyimpulkan dalam Tafsir Kabir-nya[1] bahwa ayat ini membuktikan bahwa Ulil Amr itu harus ma’sum. Ia berargumen bahwa Allah memerintahkan manusia untuk mentaati Ulil Amr secara mutlak; oleh karena itu, ma’sum bagi Ulul Amr adalah suatu hal yang niscaya. Karena jika ada kemungkinan bagi Ulul Amr melakukan kesalahan atau dosa, hal ini berarti bahwa seseorang harus mentaatinya dan juga membantahnya dalam perbuatannya., dan hal ini tentu saja mustahil terjadi. Lalu, untuk membujuk para pembacanya dari kalangan Ahl al-Bait, ia menciptakan teori bahwa kaum Muslimin secara keseluruhan adalah ma’sum. Penafsiran ini termasuk penafsiran unik, karena tidak ada satu pun ulama yang menganut teori ini dan tidak ada dasarnya sama sekali dalam hadits-hadits. Yang mengejutkan adalah bahwa al-Razi menerimam bahwa setiap Muslim bukan orang ma’sum, namun ia masih saja mengklaim bahwa mereka secara keseluruhan adalah ma’sum. Bahkan anak sekolah dasar sekali pun tahu bahwa 200 ekor sapi ditambah 200 ekor sapi hasilnya adalah 400 ekor sapi bukan seekor kuda.
Namun, al-Razi mengatakan bahwa 70 juta non-ma’sum ditambah 70 juta non-ma’sum akan menghasilkan seorang ma’sum. Tidakkah ia ingin kita percaya bahwa jika seluruh pasien rumah sakit jiwa bergabung bersama menghasilkan seorang yang waras?[2]
Pujangga bangsa Timur, Iqbal Lahore bersajak,
“Otak dua ratus keledai tidak akan
menuai pikiran seorang manusia.”
Jelasnya, dengan ilmunya yang hebat ia mampu menyimpulkan bahwa Ulul Amradalah harus seorang yang ma’sum; namun karena prasangkanya, yang memaksanya untuk berkata bahwa kaum muslimin secara kesulurahan adalah ma’sum.
Juga, ia tidak jeda sejenak untuk melihat bahwa ayat ini memuat kata “minkum” (dari kalian) yang menunjukkan bahwa Ulul Amr yang dimaksud seharusnya berasal dari bagian umat Muslimin, bukan secara kesuluruhan, dan jika sekiranya seluruh kaum Muslimin harus ditaati, maka siapa lagi yang tersisa untuk ditaati?
Arti Sesungguhnya Ulul Amr
Kini kita kembali kepada penafsiran yang benar berkenaan dengan ayat di atas.
Imam Ja’far Sâdiq As berkata bahwa ayat ini diturunkan berhubungan dengan ‘Ali bin Abi Tâlib, Hasan dan Husain As.
Setelah mendengar hadits dari Imam Ja’far ini, seseorang bertanya kepada Imam: “Orang-orang berkata, “Mengapa Allah tidak menyebutkan nama ‘Ali dan keluarganya dalam kitab-Nya?”.
Imam menjawab: “Katakan kepada mereka bahwa di dalam al-Qur’an terdapat perintah salat, namun Allah Swt tidak menyebutkan berapa rakaa’t  yang harus dikerjakan; Rasulullahlah yang menjelaskan seluruh permasalahan yang ada dengan seksama, dan perintah zakat diturunkan, akan tetapi Allah tidak menyebutkan zakat dalam setiap empat puluh dirham; Nabilah yang menjelaskan semua ini; dan ketika haji diperintahkan, Allah tidak menyebutkan perintah untuk mengerjakan tawaf tujuh kali – Nabilah yang menjelaskan semua ini. Demikian juga, ayat – taati Allah, dan taati Rasulullah dan Ulil Amri di antara kalian,” berkenaan dengan Ali, Hasan dan Husain As.[3]
Dalam Kitab Kifayatul Athar, ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdilah al-Ansari, yang berisikan penjelasan ayat ini.
Ketika ayat ini diwahyukan, Jabir berkata kepada Nabi Saw: Kami tahu bahwa Allah dan Rasul yang dimaksud dalam ayat ini, tapi siapakah Ulil Amri yang ketaatan kepadanya telah digabungkan bersama ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya?” Nabi Saw berkata: “Mereka adalah khalifahku dan imam setelahku. Pertama adalah ‘Ali, kemudian Hasan, kemudian Husain, kemudian ‘Ali putra Husain, kemudian Muhammad bin ‘Ali, yang  telah disebutkan sebagai al-Baqir dalam Kitab Taurat. Wahai Jabir! Engkau akan bersua dengannya. Bilamana engkau berjumpa dengannya, sampaikan salamku untuknya. Ia akan digantikan oleh putranya Ja’far Sadiq, kemudian Musa bin Ja’far, kemudian ‘Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin ‘Ali, kemudian ‘Ali bin Muhammad, kemudian Hasan bin ‘Ali. Ia akan digantikan oleh anaknya yang namanya dan gelarnya (laqab) sama denganku. Ia akan menjadi Hujjatullah di muka bumi, dan Baqiyatullah di antara manusia. Ia akan menaklukkan dunia yang terbentang dari timur ke barat. Sekian lama  ia akan gaib dari pandangan mata para pengikutnya yang  keimanan kepadanya akan tinggal hanya dalam kalbu orang yang telah diuji oleh Allah dengan keimanan.
Jabir berkata: “Wahai Rasulullah!” Akankah para pengikutnya akan mendapat manfaat dari masa gaibnya?”
Nabi Saw berkata: “Iya. Demi Dia yang mengutusku dengan kenabian, mereka akan dibimbing dengan cahayanya, dan manfaat dari wilayah semasa masa gaibnya, sebagaimana orang-orang mendapatkan manfaat dari sinar matahari ketika berada dibalik mega-mega. Wahai Jabir! Hal ini adalah rahasia dari Allah dan khazanah ilmunya.
Jadi jagalah berita ini selain dari orang-orang yang layak mengatahuinya.”[4]
Hadits ini telah dikutip oleh kitab-kitab Syi’ah. Hadits-hadits Sunni tidak mengutip hadits ini secara detail; namun banyak muhaddits (ahli hadits) Sunni yang merujuk kepada Itsna Asyarah Imam. Sebagaimana akan dijelaskan pada bagian selanjutnya dari buku ini.
Kini kita ketahui siapa “Ulil Amri”, jelas bahwa pertanyaan tentang mentaati para tiran dan penguasa-penguasa zalim tidak relevan sama sekali. Kaum Muslimin tidak diminta oleh ayat ini untuk mentaati penguasa-penguasa zalim, tiranik, jahil, ananiyah, dan yang tenggelam dalam maksiat. Ayat ini hakikatnya  memerintahkan mereka untuk mentaati kedua belas Imam yang telah dijelaskan, mereka semuanya adalah insan-insan suci dari dosa dan salah serta terbebas dari amal dan pikiran jahat.
Mentaati mereka tidak memiliki resiko, potensi azab sama sekali. Tidak, bahkan ketaataan kepada mereka melindungi dari segala macam resiko, karena mereka tidak akan pernah memerintahkan manusia untuk menentang kehendak Allah dan para Imam tersebut memperlakukan manusia dengan cinta, keadilan dan kesetaraan.
 Dua Belas Khalifah atau Dua Belas Imam?
Kini, ada baiknya kita merujuk kepada beberapa bagian dari bagian ke 77 Yanabi’ul Mawaddah milik al-Hafid Sulaiman bin Ibrahim al-Qunduzi al-Hanafi.
Sebuah hadits yang populer telah dinukil dalam kitab ini bahwa: “Akan ada dua belas khalifah, seluruhnya berasal dari bangsa Quraisy,” hadits ini dimuat dalam banyak kitab-kitab termasuk al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan al-Tirmidzi.
Penyusun kitab Yanabi’ul Mawaddah menukil banyak hadits yang berisikan sabda Nabi yang menyatakan bahwa: “Aku, Ali, Hasan, Husain dan sembilan keturunan dari Husain adalah insan yang suci dan ma’sum.
Ia juga mengutip bahwa Nabi Saw berkata kepada Imam Husain: “Engkau adalah seorang pemimpin, saudaramu adalah seorang pemimpin. Engkau adalah Imam, anak Imam, saudara Imam. Engkau adalah hujjatullah, anak dari hujjatullah, saudara hujjatullah, dan ayah dari sembilan hujjat. Yang kesembilan adalah al-Mahdi.”
Setelah mengutip banyak hadits yang serupa, ia menulis: “Beberapa ulama berkata bahwa hadits-hadits ini (yang menunjukkan bahwa khalifah sepeninggal Nabi berjumlah dua belas) adalah termasuk hadits masyhur, bersumber dari berbagai sanad (asnad). Kini, dengan berlalunya waktu dan peristiwa-peristiwa bersejarah, kita ketahui bahwa dalam hadits ini Nabi Saw telah merujuk kepada kedua belas Imam dari Ahl al-Baitnya dan keturunannya, karena:
  • Hadits ini tidak dapat dikenakan kepada empat khalifah dari sahabat-sahabatnya, karena jumlah mereka kurang dari dua belas.
  • Hadits ini tidak dapat dikenakan kepada para khalifah dari Dinasti Bani Umayyah, karena (a) jumlah mereka lebih dari dua belas; (b) seluruh khalifah dari Bani Umayyah adalah orang-orang zalim dan tiran (kecuali ‘Umar bin Abdul ‘Aziz); dan (c) mereka tidak berasal dari keturunan Bani Hasyim dan Nabi Saw bersabda dalam sebuah hadits bahwa: “Seluruh khalifah berasal dari Bani Hasyim…”
  • Hadits ini tidak dapat dikenakan kepada para khalifah Dinasti Abbasiyah karena; (a) jumlah mereka lebih dari dua belas; dan (b) mereka tidak memenuhi (tuntutan) ayat: “Katakanlah: Aku tidak memintah upah dari kalian kecuali kecintaan (mawaddah) kepada keluargaku (qurba).” (Qs. 42:23) Juga tidak sesuai dengan hadits al-Kisaa; keturunan Nabi Saw memenuhi tuntutan hadits dan ayat ini.
Oleh karena itu, satu-satunya jalan untuk menafsirkan hadits ini adalah menerima bahwa hadits ini merujuk kepada kedua belas Imam dari keluarga Nabi (Ahl al-Bait), karena mereka, pada masanya, adalah orang-orang yang paling berilmu, paling illustrious, paling bertakwa, paling beriman, paling tinggi dalam garis keturunan nabi, paling mulia dalam kepribadian, paling terhormat di hadapan Allah; dan ilmu mereka bersumber dari datuk mereka (Nabi Saw melalui ayah-ayah mereka, dan warisan dan pengajaran langsung dari Allah Swt.

[1] . ar-Razi : at-Tafsiru ‘l-kabir, vol.10, hal. l44.
[2] . Meskipun kita tetap memberi hormat kepada pendapat-pendapat yang lain, dan khususnya kepada keyakinan saudara-saudara kita dari Ahlus Sunnah, pada saat yang sama, penulis tidak memiliki alternatif lain kecuali mengkritisi pendapat ar-Razi dengan contoh-contoh tersebut. Tentu saja, kita tidak menganggap bahwa pendapat ar-Razi ini merupakan manifesto seluruh saudara Ahlus Sunnah, (Penerbit).
[3] . Lihat,  al-’Ayyashi: at-Tafsir, vol. 1, hal-hal.249-250; Fayd al-Kashani: at-Tafsir ) as-Safi), vol.1, hal.364.
[4] . al-Khazzaz: Kifayatu ‘l-Athar, hal. 53
[5] . al-Qunduzi’ Yanabi ‘u ‘l-mawaddah, hal-hal  444-447

Para pembaca…
Al-Imâmah secara literal (lughawi) berarti “kepemimpinan”. Al-Imâm berarti “pemimpin”. Dalam terminologi Islam al-Imâmah bermakna “otoritas semesta dalam seluruh urusan agama dan dunia, yang menggantikan peran Nabi Saw.[1] Al-Imâm berarti: “Seorang (pria) yang – menggantikan Nabi – memiliki hak untuk memerintah secara mutlak dalam urusan kaum muslimin baik dalam urusan dunia maupun akhirat.
Kata “seorang (pria)” menunjukkan bahwa seorang wanita tidak dapat menjadi seorang imam. “Memerintah secara mutlak” tidak termasuk mereka yang memimpin salat – mereka juga dipanggil imam – tapi  dalam konteks salat jamaah. Tetapi mereka tidak memiliki otoritas mutlak. Dalam suksesi nabi, suksesi tersebut menunjukkan perbedaan antara seorang nabi dan seorang imam. Imam menjalankan otoritas ini secara tidak langsung, melainkan menjalankan tugas ini untuk menggantikan kedudukan Nabi.
Kata “khilafah” berarti “pergantian” dan “al-khalifah” bemakna “pengganti”. Dalam terminologi Islam “al-khilafah” dan “al-khalifah” secara praktis menandakan arti yang sama dengan “al-imamah” dan “al-imam“.
Adapun al-Wisayah berarti “pelaksanaan wasiat” dan “al-Wasi” bermakna “pelaksana wasiat”. Secara signifikan maknanya sama dengan “al-khilafah” dan “al-khalifah“.
Menarik untuk diperhatikan bahwa banyak nabi-nabi sebelumnya juga khalifah dari nabi-nabi pendahulunya, jadi mereka adalah nabi dan khalifah; sementara nabi-nabi yang lain (yang membawa syari’at baru) bukan khalifah dari nabi-nabi sebelumnya. Dan diantara mereka ada yang menjadi khalifah nabi-nabi tetapi bukan nabi.
Masalah imamah dan khilafah telah meretas – memecah – keutuhan kaum muslimin dan mempengaruhi pola-pikir, falsafah dari kelompok yang berbeda yang telah sedemikian hebat sehingga persamaan yang ada yakni tauhid, meyakini Allah (at-Tauhid) dan nabi (nubuwwah) tidak lagi dapat diselamatkan dari pandangan-pandangan yang berbeda ini.
Inilah subjek yang menjadi perdebatan yang paling hebat dalam teologi (ilmu kalam) Islam. Banyak kaum Muslim yang telah menulis ratusan kitab tentang masalah khilafah.  Masalah yang ada dihadapan penulis, bukan apa yang harus ditulis; melainkan apa yang tidak harus ditulis. Dalam karya kecil seperti ini – anda tidak dapat menyentuh seluruh ragam aspek dari permasalahan ini – biarkan mereka mencarinya sampai detail ihwal topik-topik yang dibahas di dalam buku ini. Buku ini hanya menyuguhkan sebuah garis besar dari ikhtilaf yang ada diantara beberapa madzhab dalam Islam tentang masalah khilafah.
Mungkin dengan menyebutkan bahwa dalam Islam terbagi dalam dua madzhab yang berbeda dalam menyikapi masalah ini, dapat membantu para pembaca dalam berurusan dengan masalah ini. Madzhab Sunni meyakini bahwa Abu Bakar adalah khalifah pertama selepas Nabi Saw. Madzhab Syiah meyakini bahwa ‘Ali bin Abi Tâlib merupakan Imam dan Khalifah setelah wafatnya Nabi Saw.
Perbedaan azasi ini telah menuntun kepada perbedaan-perbedaan yang ada yang akan dijelaskan pada bagian-bagian selanjutnya dari buku ini.
Ikhtisar Perbedaan
Nabi Saw bersabda dalam sebuah hadits yang validitasnya diterima oleh seluruh madzhab dalam Islam:
“Umatku akan terbagi menjadi tujuh puluh firqah (bagian), seluruhnya akan binasa kecuali satu firqah “.[2]
Pencari keselamatan akan selalu – tentu saja – tanpa lelah berusaha untuk mencari tahu masalah ini kemudian menemukan jalan yang benar – jalan keselamatan -, dan memang mesti bagi setiap orang untuk mencarinya, melakukan yang terbaik dan tidak pernah berputus asa untuk mencari kebenaran. Tapi ini hanya mungkin  bila ia memiliki sebuah pandangan yang jernih dalam menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada di sekelilingnya, dan membuang segala bias dan prasangka, menguji suatu kebenaran dengan pemikiran yang matang dan dewasa, senantiasa berdoa kepada Allah Swt agar membimbingnya kepada jalan kebenaran.
Atas alasan ini, saya mengajukan secara singkat di sini ikhtilaf-ikhtilaf yang penting dan konflik-konflik yang ada kita hadapi bersama dengan argumen-argumen, dalil-dalil dan penalaran yang sehat dari setiap madzhab, dalam rangka memudahkan kita mencapai kebenaran yang kita cari. Pertanyaan-pertanyaan utama yang mengemukan di sini adalah:
  1. Apakah pengganti Nabi, pengangkatannya dari Allah Swt atau diserahkan sepenuhnya kepada umat untuk memilih siapa saja yang mereka kehendaki sebagai pengganti Nabi?
  2. Dalam kasus terakhir, apakah Allah atau Nabi menyerahkan kepada umat kaidah-kaidah sistematis yang mengandung aturan-aturan dan prosedur bagi pengangkatan seorang khalifah, atau apakah umat dengan kesepakatan yang mereka capai sebelum mengangkat seorang khalifah, menyiapkan seperangkat aturan-aturan yang mereka terapkan dalam mengangkat seorang khalifah, atau apakah umat bertindak berdasarkan kepada apa yang mereka anggap perlu pada suatu waktu dan memanfaatkan kesempatan yang ada.
  3. Apakah akal dan dustur Ilahi menuntut adanya syarat-syarat dan kualifikasi dalam diri seorang imam atau seorang khalifah? Jika demikian, apa saja syarat-syarat dan kualifikasi tersebut?
  4. Apakah Nabi Saw menunjuk seseorang sebagai khalifahnya dan penggantinya atau tidak? Jika memang menunjuk seseorang, siapa orang tersebut? Jika tidak, mengapa?
  5. Setelah wafatnya Nabi Saw, siapa yang dikenali sebagai khalifahnya dan apakah orang ini memiliki kualifikasi-kualifikasi yang ada sebagai syarat untuk menjadi seorang khalifah?[3]
  Perbedaan Azasi
Akan menghemat waktu, jika kita menjelaskan permulaan sebab azasi ikhtilaf ihwal tabiat dan karakter imamah dan khalifah. Apakah
karakteristik utama yang ada pada urusan imamah? Apakah seorang imam, pertama dan utama, adalah seorang penguasa sebuah kerajaan? Atau ia merupakan khalifahtullâh dan khalifaturasul?
Karena imamah dan khilafah diterima secara umum sebagai pengganti Nabi, pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab hingga keputusan dibuat berdasarkan kepada karakter asasi seorang nabi. Kita harus memutuskan apakah seorang nabi adalah penguasa sebuah kerajaan atau merupakan wakil Tuhan di muka bumi.
Dalam sejarah Islam, kita temukan suatu kelompok yang bila ditinjau dari misi kedatangan Nabi Saw, terlihat sebuah usaha yang ingin mendirikan sebuah kerajaan. Pandangan mereka bersifat material, tidak maknawi; gagasan-gagasan mereka bertumpu pada pengumpulan harta, kecantikan dan kekuasaan. Mereka – secara tabiat – menisbahkan motif-motif yang mereka bangun kepada Nabi Saw.
Seperti pada kasus ‘Utbah bin Rabi’ah – bapak mertua Abu Sufyan – yang diutus untuk menjumpai Nabi menyampaikan pesan suku Quraisy.
“Wahai Muhammad! Jika engkau menginginkan kekuasan dan wibawa, kami akan menjadikan engkau sebagai maharaja di Makkah. Apakah engkau berhasrat menikah dengan putri  bangsawan? Engkau dapat meminang putri tercantik di negeri ini. Apakah engkau ingin emas dan perak? Kami dapat menyediakanmu segalanya bahkan lebih dari itu. Tapi engkau harus meninggalkan dakwahmu yang menyerang kami dan menghina nenek-moyang kami yang menyembah berhala.”
Suku Quraisy hampir pasti yakin bahwa Muhammad akan menanggapi tawaran yang menggiurkan itu. Tapi Nabi Muhammad Saw membacakan sebuah ayat suci al-Qur’an sebagai jawaban  beliau – berisikan ancaman – kepada suku Quraisy itu. “Jika mereka berpaling maka katakanlah: “Aku telah memperingatkanmu dengan petir yang menimpa kaum Aad dan kaum Tsamud. (Qs. Fussilat:13)
‘Utbah sangat emosional dengan ancaman yang nyata ini. Ia tidak menerima Islam, tapi memberikan nasihat kepada kaum Quraisy supaya tidak mengganggu Muhammad dan melihat bagaimana ia akan berjalan dengan suku-suku lainnya. Suku Quraisy mengklaim bahwa ‘Utbah pun telah terpengaruh sihir Muhammad.[4]
Kemudian ia ingin menyerahkan urusan Muhammad kepada suku-suku lain. Di satu sisi, ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah dan suku Quraisy berperangsatu sama lainnya, suku-suku yang lain berpikir lebih baik meninggalkan Muhammad kepada sukunya sendiri. ‘Amr bin Salamah, seorang sahabat Nabi berkata:
“Bangsa Arab menantikan suku Quraisy menerima Islam. Mereka berkata bahwa Muhammad harus diserahkan kepada kaumnya sendiri. Jika ia muncul sebagai pemenang, tanpa ragu dia adalah seorang Nabi yang hak. Ketika Mekkah ditaklukkan, seluruh suku-suku berlomba-lomba untuk menerima Islam.”[5]
Oleh karena itu, dan menurut mereka, kemenangan adalah kriteria kebenaran! Jika Muhammad Saw ditaklukkan, maka ia akan dipandang sebagai pendusta!!
Pandangan bahwa misi suci ini tidak lain kecuali sebuah urusan duniawi yang berulang kali diumumkan oleh Abu Sufyan dan kaumnya (Bani Umayyah, -penj.).
Pada waktu kejatuhan Mekkah, Abu Sufyan meninggalkan Mekkah untuk menghindar dari kekuatan pasukan muslim. Ia terlihat oleh Abbas – paman Nabi – yang membawanya ke hadapan Nabi dan memberi nasihat kepada Nabi bahwa sebaiknya ia diberikan perlindungan dan penghormatan, dengan harapan semoga ia dapat menerima Islam.
Untuk menyingkat cerita ini, al-’Abbâs membawa Abu Sufyan untuk melihat-lihat lasykar Islam. Ia menunjukkan kepada Abu Sufyan orang-orang besar dari suku yang berlainan dalam susunan pasukan Islam. Sementara itu, Nabi Saw melewati pasukannya yang berseragam hijau. Abu Sufyan berteriak: “Wahai ‘Abbâs! Sesungguhnya kemenakanmu telah memperoleh sebuah kerajaan!”. Al-’Abbâs berkata: “Celakalah engkau! Ini bukan kerajaan; ini adalah kenabian.”[6]
Di sini, kita melihat dua pandangan yang saling berseberangan. Pandangan Abu Sufyan tidak berubah. Ketika ‘Utsman menjadi khalifah, Abu Sufyan datang kepadanya dan memberi nasihat, “Wahai putra Umayyah! Kini kerajaan ini telah datang padamu, mainkanlah ia sebagaimana anak kecil bermain bola dan serahkanlah secara turun- temurun kepada sanak keluargamu. Ini adalah hakikat kebenaran; kita tidak tahu apakah surga dan neraka ada atau tidak.”[7]
Lalu, ia pergi ke Uhud dan menendang kuburan Hamzah (paman Nabi), dan berkata: ” Wahai Abu Ya’la! Lihatlah kerajaan yang engkau berperang atasnya akhirnya telah datang kepada kami.”[8]
Pandangan yang sama diwarisi oleh cucunya yang berkata: Bani Hasyim telah bermain dengan kerajaan; namun akhirnya kini tidak ada kabar, juga tidak ada wahyu yang turun sama sekali.”[9]
Jika pandangan seperti ini dianut oleh kaum muslimin, niscaya ia menyamakan imamah dengan penguasa. Sesuai dengan pemikiran semacam ini, fungsi utama Nabi adalah sebagai penguasa kerajaan, Oleh karena itu, siapa saja yang mengendalikan kekuasaan adalah pengganti sah Nabi Saw.
Tapi masalah yang mengedepan kemudian adalah lebih dari sembilan puluh persen nabi-nabi yang diutus tidak memiliki kekuasaan politik; dan kebanyakan mereka menjadi tumbal atau korban kekuasaan-kekuasaan politik pada masanya. Kejayaan mereka tidak terletak pada takhta dan mahkota, namun pada syahadah dan pengorbanan. Jika karakteristik utama kenabian adalah kekuasaan politik dan penguasaan, maka barangkali – bahkan – tidak ada 50  (dari 124.000) nabi-nabi yang diutus akan bertahan dengan gelar Ilahi mereka sebagai  nabi.
Jadi, sangat jelas bahwa karakteristik utama Nabi Saw tidaklah pada kekuasaan politik, tapi pada khalifatullah, dan bahwa perwakilan ini tidak dianugerahkan kepadanya oleh orang-orang; namun perwakilan ini dianugerahkan oleh Allah Swt sendiri.
Demikian juga, pengganti Nabi, karakteristik utamanya juga tidak pada kekuasaan politik; melainkan pada kenyataan bahwa ia adalah wakil Allah Swt, dan perwakilan ini tidak akan pernah dianugerahkan oleh manusia, perwakilan ini niscaya dan mesti dari Allah Swt sendiri. Singkatnya, jika seorang imam adalah wakil Allah Swt, maka yang mengangkatnya sebagai wakil juga haruslah Allah Swt.

Sistem Kepemimpinan Dalam Islam
Pernah suatu waktu, sistem pemerintahan monarki adalah satu-satunya sistem pemerintahan yang dikenal oleh manusia. Pada saat yang bersamaan, ulama-ulama muslim mengagungkan sistem monarki dengan berkata: “Raja adalah bayangan Tuhan,” seakan-akan Tuhan memiliki bayangan! Kini di abad kiwari, demokrasi sedang digemari dan ulama-ulama Sunni tanpa mengenal lelah menegaskannya dalam artikel-artikel, buku-buku dan risalah-risalah mereka, bahwa sistem pemerintahan Islam berdasarkan sistem pemerintahan demokrasi. Mereka bahkan terlalu cepat mengklaim bahwa demokrasi didirikan oleh Islam, dengan melupakan kota republik Yunani. Pada babak kedua dari abad ini, sosialisme dan komunisme telah mendapatkan perhatian khusus oleh negara-negara yang sedang berkembang atau pun yang sudah berkembang; dan saya tidak terkejut mendengar bahwa banyak cendekiawan muslim menegaskan bahwa Islam mengajarkan dan menciptakan sosialisme. Beberapa orang di Pakistan dan di beberapa tempat yang lain, telah menciptakan slogan “Sosialisme Islam”. Apa maksud dari “Sosialisme Islam” ini, saya tidak tahu. Tapi saya tidak akan terkejut jika dalam sepuluh atau dua puluh tahun ke depan orang-orang seperti ini akan memulai mengklaim bahwa Islam juga mengajarkan komunisme.
Seluruh kecenderungan “berubah bersama angin” ini sedang membuat sebuah lelucon dari kepemimpinan Islam. Beberapa waktu yang lalu dalam sebuah majelis kaum muslimin di sebuah negara di Afrika, seorang pemimpin muslim menyebutkan bahwa Islam mengajarkan: Taati Allah, taati Rasulnya dan penguasa di antara kalian”. Dalam jawabannya, seorang presiden (yang kebetulan adalah seorang penganut Katolik Roma yang setia) berkata bahwa ia  sangat menghargai hikmah dari perintah untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya; tapi ia tidak dapat mengerti logika dibalik perintah itu mentaati penguasa kalian ini.
Bagaimana jika seorang penguasa itu tidak adil dan seorang tiran? Apakah Islam memerintahkan kaum muslimin untuk mentaatinya secara membabi-buta tanpa sedikit pun perlawanan.
Pertanyaan yang rasional menuntut jawaban yang rasional pula. Hal ini tidak dapat dipandang remeh. Kenyataan bahwa orang yang mengundang kritikan pedas, melakukan hal itu karena kekeliruan dalam menafsirkan al-Qur’an.
Mari kita uji sistem kepemimpinan dalam Islam. Apakah ia berwarna demokratis? Definisi terbaik demokrasi diberikan oleh Abraham Lincoln (Presiden Amerika yang ke-16, 1861-1865) ketika ia berkata bahwa demokrasi adalah “Pemerintahan rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”.
Akan tetapi dalam Islam, bukanlah pemerintahan dari rakyat, namun pemerintahan dari Allah Swt. Bagaimana manusia dapat memerintah diri mereka sendiri? Mereka memerintah diri mereka sendiri dengan membuat aturan-aturan sendiri; dalam Islam, hukum tidak dibuat oleh manusia, tapi oleh Allah Swt; hukum ini diajarkan tidak berdasarkan kesepakatan dan keputusan manusia, tapi oleh Nabi Saw sesuai dengan perintah dari Allah Swt. Manusia tidak memilki suara dalam legislasi; mereka diminta untuk mengikuti segala ketentuan yang dibuat oleh Allah Swt, tanpa ada komentar atau usulan tentang hukum-hukum ini dan legislasi.
Sampai pada frase “oleh rakyat”,  mari kita timbang bagaimana manusia memerintah diri mereka sendiri. Mereka melakukannya dengan memilih penguasa mereka sendiri. Nabi Saw merupakan orang yang memangku badan eksekutif, hukum dan seluruh otoritas dalam pemerintahan Islam, dan beliau tidak dipilih oleh manusia. Dalam kenyataannya, jika penduduk Mekkah dibolehkan untuk memilih sendiri, mereka akan memilih, ‘Urwah bin Mas’ud (dari suku Taif) atau al-Maulid bin Mughira (dari Mekkah) sebagai nabi Allah! Menurut al-Qur’an, “Dan mereka berkata: “Mengapa  al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari satu dua negeri (Mekkah dan Taif) ini.”[10]
Jadi, Nabi Saw tidak hanya seorang kepala negara agung dari negara Islam  yang ditunjuk tanpa konsultasi manusia, namun kenyataanya beliau dipilih bertentangan dengan keinginan mereka. Nabi Saw adalah pemegang otoritas tertinggi dalam Islam. Beliau menggabungkan personalianya dalam fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam pemerintahan; dan beliau tidak dipilih oleh manusia (rakyat).
Dengan demikian, Islam  bukan pemerintahan rakyat, bukan “oleh rakyat”. Tidak ada legislasi oleh rakyat; eksekutif dan  yudikatif tidak bertanggung jawab kepada rakyat, juga bukan sebuah pemerintahan untuk rakyat”.
Sistem Islam , sejak awal hingga akhir, adalah untuk Allah. Segala sesuatunya harus dilakukan semata-mata untuk Allah; jika dilakukan untuk rakyat, maka ini disebut sebagai “syirik tersembunyi”.  Apa saja yang anda lakukan – apakah salat atau sadaqah, amal sosial atau keluarga, ketaatan kepada orang tua atau cinta kepada tetangga, memimpin salat berjamaah atau memutuskan sebuah perkara, memasuki medan perang atau menyepakati perdamaian – harus dilakukan “qurbatan ilallah” (sebagai pendekatan kepada Allah), untuk meraih keridaan Allah. Dalam Islam, segalanya untuk Allah.
Singkatnya, bentuk pemerintahan Islam adalah pemerintahan Allah melalui perwakilan-Nya, untuk meraih keridaan Allah.
Pemerintahan ini adalah pemerintahan teokrasi, dan merupakan tabiat dan karakter kepemimpinan Islam, dan bagaimana pengaruh makna ayat di atas berkenaan dengan ketaatan, akan kita lihat pada bagian terakhir dari buku ini.

[1]. Lihat, Al-’Allamah al-Hilli:al-Babu ‘l-hadi ‘Asyar, Edisi Bahasa Inggris. penj. W. M. Miller, hal. 62; Mughniyyah:Falsafat Islamiyyah,  hal. 392.
[2] . Lihat, al-Khâtib at-Tabrizi: Mishkatu ‘l-Masabih,  Terjemahan Bahasa Inggris oleh James Robson, vol.l, hal. 45; al-Majlisi telah mengumpulkan dalam sebuah bagian yang lengkap, hadits-hadits yang bertalian dengan masalah ini dalam Biharu ‘l-Anwar, vol. 28, hh.2-36; al-Qummi, Syaikh Abbas: Safinatu ‘l-Bihar, vol. 2, hal-hal. 359-360.
[3] . Lihat, Najmu ‘l-Hasan:an-Nubuwwah wa ‘l-khilâfah, penj. Liqa’ ‘Ali Haidari, hal. 2-3
[4] . Lihat, Ibn Hisyâm:as-Sirah an-Nabawiyyah, vol.l, hal. 313-314.
[5] . Lihat, al-Bukhâri:as-Sahih, vol. 5, hal. 191; Ibn Katsir :al-Bidayah wa ‘n-Nihaya, vol. V, hal. 40.
[6] . Lihat, Abu’l-Fidâ:’  al-Mukhtasar , vol.1, hal-hal. 143-144; al-Ya’qubi : at-Târikh ,vol. 2, hal. 59.
[7] . Ibn ‘Abdi ‘l-Barr: al-lsti’âb,  vol. 4, hal. l679; Ibn Abi ‘l-Hadid mengutip akhir kalimat akhir sebagai berikut: “Dengan namanya Abu Sufyan bersumpah, tidak ada azab dan perhitungan (hisab), juga tidak ada Surga dan Neraka, juga tidak ada hari kebangkitan dan hari hisab. (Lihat, Syarh Nahju ‘l-Balâghah,vol. 9, hal. 53).
[8] . Lihat, Ibn Abi ‘l-Hadid: op. cit., vol. 16, hal. 136.
[9] . Lihat, Sibt ibn al-Jauzi: Tadzkirah, peny. S.M.S. Bahru ‘l ‘Ulum, hal. 261; at-Tabari, at-Târikh, vol.13, hal. 2174.
[10] .Untuk penjelasan “Seorang besar” lihat, as-Suyuti:Lubabu u’n-nuqul fi asbabi’n-Nuzul dicetak bersama Tafsiru ‘l-Jalalayn, hal. 289, 649.


Para pembaca…
Keharusan Imamah
Menurut pandangan Syiah, imamah adalah sebuah pranata yang mesti ada, sesuai dengan hukum akal. Dengan rahmat Allah Swt yang menjadikan hamba-hamba-Nya taat dan menjaganya dari maksiat, tanpa paksaan. Dalam ilmu kalam Syiah, sifat rahmat adalah wajib bagi Allah Swt. Ketika Allah menghendaki seseorang melakukan sesuatu, Dia mengetahui bahwa manusia tidak dapat melakukannya atau ia akan menemui kesulitan untuk melakukannya tanpa memperoleh bantuan dari-Nya. Kemudian, jika Allah tidak membantunya, maka perbuatan itu bertentangan dengan tujuan Allah sendiri.  Jelasnya, kelalaian ini adalah batil menurut ukuran akal. Oleh karena itu, sifat rahmat adalah wajib bagi Allah Swt.
Imâmah adalah rahmat dari Allah Swt.  Karena sebagaimana yang kita ketahui ketika manusia memiliki seorang pemimpin (rais) dan pembimbing yang mereka taati, yang membela kaum tertindasdari penindasan dan menahan kaum penindas, maka ia akan menarik mereka lebih dekat kepada kebaikan dan menjauh dari kerusakan dan penyimpangan, dan karena lutf, wajib bagi Allah Swt untuk mengangkat seorang imam untuk membimbing dan memimpin umat setelah wafatnya Nabi Saw.[1]
Superioritas
Kaum Syiah meyakini bahwa; sebagaimana Nabi Saw, seorang imam harus lebih unggul dari umat dalam segala keutamaan, seperti ilmu pengetahuan, keprawiraan, ketakwaan dan amal saleh, dan dia harus memiliki ilmu yang sempurna tentang hukum-hukum Allah. Jika tidak; dan kedudukan ini diamanahkan kepada orang yang setingkat di bawah orang yang memiliki kesempurnaan, yaitu inferior lebih diutamakan ketimbang superior, maka perbuatan  iniadalah perbuatan keliru menurut hukum akal dan bertentangan dengan Keadilan Ilahi. Oleh karena itu, tidak ada orang inferior yang akan menerima imamah dari Allah Swt bilamana hadir seorang yang lebih superior daripada dia.[2]

Ma’sum
Kualifikasi yang kedua adalah ismah (keterjagaan dari dosa dan salah). Jika imam tidak ma’sum maka ia akan dapat dengan mudah terjebak dalam kesalahan dan juga berpotensi untuk mengelabui orang.[3]
Pertama-tama,dalam kasus seperti ini (bila seorang imam  berbuat salah), kita tidak dapat mempercayai terhadap apa yang dikatakan dan didiktekan kepada kita.
Kedua, seorang imam adalah penguasa dan pemimpin umat, dan umat harus mengikutinya tanpa reserve (tedeng aling-aling) dalam segala hal. Sekarang, jika ia berbuat dosa, orang-orang pasti akan mengikutinya untuk berbuat dosa. Tak tertahankannyakedudukan ini bersifat jelas (badihi); karena ketaatan dalam perbuatan dosa adalah batil, haram dan terlarang. Lagi pula, akan berarti bahwa ia harus mentaati dan mengingkarinya pada saat yang bersamaan; yaitu, ketaatan kepadanya akan menjadi wajib dilarang, yang secara nyata bila diikuti akan tampak konyol (absurd).
Ketiga, jika memungkinkan bagi seorang imam untuk berbuat dosa, akan menjadi kewajiban bagi orang lain untuk mencegahnya (karena wajib bagi setiap muslim untuk melakukan amar ma’ruf). Dalam keadaan demikian, imam akan terhina; wibawanya akan berakhir, jangankan akan menjadi pemimpin umat, ia akan menjadi pengikut imam (ma’mum), dan imamahnya tidak akan berguna.
Keempat, imam adalah pembela hukum Allah dan perkara ini tidak akan diamanahkan kepada tangan-tangan yang penuh dosa juga tidak kepada  orang-orang yang akrab dengan salah. Atas alasan ini, kema’suman menjadi syarat mutlak kenabian; dan pertimbangan-pertimbangan yang membuatnya niscaya dan esensial dalam kasus seorang nabi, juga berlaku pada seorang imam dan khalifah.
Pembahasan ini akan dikaji lebih jeluk pada bagian akhir dari buku ini  (Ulul Amr Harus Ma’sum)
Pengangkatan oleh Allah
Seperti dalam kasus  para nabi, kualifikasi-kualifikasi yang disebutkan tersebut tidak memadai sehingga dapat secara otomatis membuat seseorang menjadi imam. Imamah bukanlah sebuah pekerjaan yang diminta; tapi sebuah penunjukan yang dianugerahkan oleh Allah.[4]
Dengan alasan ini, Syiah Itsna Asyariyah meyakini bahwa Dialah (Allah) yang berhak untuk memilih pengganti Nabi; dan umat tidak memiliki pilihan, intervensi dalam hal ini, dan kewajibannya hanya mengikuti titah Ilahi yang telah menunjuk seorang imam atau khalifah baginya.
Ayat-ayat Qur’an
Ayat-ayat berikut ini menegaskan pandangan-pandangan Syiah.
“Dan Tuhanmu yang menciptakan apa yang dia kehendaki dan memilih-Nya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka.” (Qs.al Qasas:68)
Ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa manusia tidak memiliki hak dalam memilih; pemilihan ini sepenuhnya berada di tangan Allah Swt.
Sebelum menciptakan Adam, Allah memberi kabar kepada para malaikat; “…Sesungguhnya Aku ingin menjadikan seorang khalifah di muka bumi…” (Qs.al-Baqarah:30)
Kemudisn para malaikat menyatakan protes mereka dengan santun, protes mereka ini ditepis dengan firman-Nya, “…Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kalian tidak ketahui…” (Qs. al-Baqarah:30)
Jika para malaikat ma’sum ini tidak diberikan sedikit pun peluang untuk berkata dalam penunjukan seorang khalifah, bagaimana mungkin manusia yang dapat berbuat dosa (fallibel) berharap untuk mengemban seluruh otoritas atas penunjukan ini?
Allah sendiri mengangkat Nabi Daud sebagai khalifah di muka bumi;
“Wahai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah dk muka bumi…” (Qs. Saad:26)
Dalam setiap masalah Allah menisbatkan pengangkatan khalifah atau imam secara eksklusif kepada diri-Nya. “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu Imam bagi seluruh umat manusia. Ibrahim berkata: “Dan dari keturunanku.” Allah berfirman: “Janji-Ku ini tidak mengenai orang yang zalim.” (Qs. al-Baqarah:124)
Ayat ini membawa kita kepada jawaban yang benar dari banyaknya pertanyaan mengenai imamah.
Pertama, Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku ingin menjadikan engkau sebagai seorang Imam bagi manusia.” Ayat ini menunjukkan bahwa status imamah adalah pegangkatan-Ilahi; di luar urusan umat.
Kedua, “Perjanjianku ini tidak termasuk orang-orang yang zalim.” Hal ini dengan jelas menunjukkan bahwa seorang non-ma’sum tidak dapat menjadi seorang imam. Secara logis, kita dapat membagi manusia ke dalam empat kelompok:
  1. Kelompok yang tetap berlaku tidak adil selama masa hidupnya.
  2. Kelompok yang tidak pernah berlaku zalim.
  3. Kelompok yang awalnya zalim namun kemudian menjadi adil.
  4. Kelompok yang awalnya adil namun kemudian menjadi zalim.
Ibrahim As, terlalu tinggi kedudukannya untuk memohonimamah yang termasuk kelompok yang pertama atau yang keempat. Dan kini tersisa, dua kelompok (kedua dan ketiga) yang dapat dimasukkan dalam doa Ibrahim tersebut. Namun, Allah Swt menolak salah satu dari keduanya yaitu, kelompok yang awalnya tidak adil kemudian menjadi adil. Kini tersisa, hanya satu kelompok yang memenuhi kualifikasi untuk memegang posisi imamah – mereka yang sama sekali tidak pernah berbuat zalim selama hidupnya, yaitu ma’sum.
Ketiga, Terjemahan literal dari akhir ayat tersebut adalah:
Perjanjianku tidak akan mencapai orang-orang zalim. Perhatikan, Allah tidak berkata, “Orang zalim tidak akan mencapai perjanjianku”, karena yang demikian ini bermakna bahwa ia berada di dalam kekuasaan manusia – meskipun ia seorang yang adil – untuk mencapai kedudukan imamah. Kalimat present (mudâre) tidak menyisakan kesalahpahaman, secara jelas menunjukkan bahwa menerima amanat imamah tidak berada dalam pengurusan manusia; urusan ini sepenuhnya berada di tangan Allah secara eksklusif dan Dia memberi kepada siapa yang Dia kehendaki.
Lalu sebagai aturan umum, disebutkan, “Kami telah menjadikan mereka itu sebagai imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami.” (Qs.al-Anbiya:73)
Ketika Nabi Musa As menghendaki perdana menterinya untuk membantunya, ia tidak menunjuk seseorang dengan menggunakan otoritasnya sebagai nabi. Ia berdoa kepada Allah Swt: “Dan anugerahkan kepadaku seorang pembantu dari keluargaku, Hârun saudaraku.“(Qs.Taha:29-30)  Dan Allah berfirman, “Sesungguhnya telah diperkenankan permintaanmu , wahai Musa.” (Qs.Taha:36)
Seleksi Ilahia ini diberitakan kepada umat melalui nabi atau imam sebelumnya. Deklarasi ini disebuti nass = spesifikasi; determinasi, pengangkatan pengganti imam oleh nabi atau imam sebelumnya. Seorang Imam sesuai dengan keyakinan Syiah, harus mansus dari Allah, yaitu diangkat oleh Allah untuk kedudukan tersebut.
Mukjizat
Jika seseorang tidak mendengar nass tentang sebuah penuntut imamah, maka satu-satunya jalan untuk memastikan kebenaran klaimnya itu adalah melalui mukjizat.[5]
Secara umum, setiap orang bisa saja mengklaim bahwa ia adalah seorang imam atau khalifah nabi dan ma’sum, namun sebuah mukjizat adalah satu-satunya alat penguji kebenaran dalam hal ini. Jika pengklaim dapat membuktikannya dengan sebuah mukjizat untuk menopang klaimnya, maka tanpa ragu, klaimnya akan mudah diterima oleh umat.  Namun jika ia tidak dapat membuktikannya dengan sebuah mukjizat, maka jelas bahwa ia tidak memenuhi kualifikasi  atas imamah dan khalifah, dan klaimnya ini adalah sebuah klaim palsu.
Dapat Menjadi  Teladan
Praktik yang berlaku secara umum dalam memilih penggantinya (atas perintah Allah) berlaku tanpa intervensi ummat.
Sejarah nabi-nabi tidak menyodorkan satu contoh sebagai pengganti nabi dipilih melalui voting dari pengikutnya. Tidak ada alasan mengapa pengganti Nabi Saw yaitu hukum Allah yang mapan ini harus berubah, Allah berfirman, “…dan kamu sekali-kali tiada akan mendapatkan perubahan pada sunnah Allah.” (Qs. al-Ahzab:62)
Alasan-alasan Logis
Alasan yang sama yang membuktikan pengangkatan seorang nabi adalah hak prerogatif Allah, membuktikan dengan kekuasaan yang sama bahwa pengganti nabi juga harus diangkat oleh Allah. Seorang imam atau khalifah; sebagaimana nabi, ditunjuk untuk melaksanakan tugas dari Allah  Swt. Jika ia diangkat oleh manusia, loyalitasnya yang pertama tentu saja bukan untuk Allah, melainkan untuk orang-orang yang akan “bersandarkan kepada otoritasnya”. Ia akan selalu berupaya untuk mencari keridaan manusia, karena jika mereka menarik kepercayaan mereka dari dirinya, ia akan kehilangan jabatannya. Sehingga ia tidak akan melaksanakan kewajiban agama tanpa ada rasa takut atau selera; pandangannya akan senantiasa dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan politik. Kemudian, tugas dari Allah tentu saja akan terabaikan.
Di samping itu, sejarah Islam menyajikan bukti-bukti melimpah yang menyoroti ajaran-ajaran agama yang ditunjukkan oleh khalifah yang diangkat oleh manusia. Jadi argumen ini tidak hanya bersifat ilmiah, tapi juga sarat dengan bukti-bukti sejarah.
Juga, hanya Allah yang mengetahui keadaan batin (inner feelings) dan pikiran seseorang; tidak ada yang dapat mengetahui tabiat asli seseorang. Boleh jadi seseorang bersikap seolah-olah sebagai orang yang bertakwa dan beriman hanya untuk memberikan kesan kepada kerabat dan koleganya dan bertujuan untuk meraih nikmat duniawi. Contoh-contoh sikap seperti ini banyak ditemukan dalam catatan sejarah. Sebagai misal, kisah Abdul Malik bin Marwan yang meluangkan hampir seluruh waktunya di masjid untuk berdoa dan membaca Al-Qur’an. Ia sedang membaca Al Qur’an ketika kabar tentang kematian ayahnya sampai kepadanya dan orang-orang menantikan untuk berbaiat kepadanya sebagai khalifah baru. Ia kemudian menutup al-Qur’an dan berkata, “Kini saatnya berpisah denganmu!”[6]
Dengan demikian, kualifikasi yang diperlukan untuk menjabat kedudukan sebagai khalifah dan imam hanya dapat diketahui secara hakiki  oleh Allah, dan hanya Allahlah yang memiliki hak prerogatif untuk mengangkat seorang imam atau khalifah.
Kema’suman para Imam
Kini, mari kita amati apa yang dikatakan oleh al-Qur’an tentang Ahl  al-Bait Nabi Saw.
Sesuai dengan al-Qur’an, ‘Ali, Fâtimah, Hasan, Husain adalah orang-orang yang terjaga dari dosa dan ma’sum pada saat Nabi Saw wafat. Ayat Tathir berbunyi sebagai berikut, “…Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa darimu, wahai Ahl al-Bait dan mensucikanmu sesuci-sucinya.” (Qs. al-Ahzab:33)
Secara umum disepakati bahwa keempat nama yang tersebut di atas adalah Ahl al-Bait dan adalah orang-orang yang terjaga dari dosa dan terbebas dari segala nista.
Kalimat sebelumnya dan sesudah ayat ini dialamatkan kepada para istri Nabi dan kata ganti (dâmir) dalam ayat ini merupakan gender muannats. Tetapi kata ganti yang digunakan dalam ayat ini mengandung gender mudzakkar. Alasan mengapa ayat ini ditempatkan dalam bentuk mudâre’ tidak terlalu sulit untuk ditebak. Almahrum “Allamah Pooya” menulis dalam catatan kaki No. 1857 dengan terjemahan al-Qur’an oleh S.V.Mir Ahmed Ali.
Kandungan ayat ini; berkenaan dengan kesucian Ahl al-Bait yang telah disucikan oleh Allah Swt, memerlukan sebuah penjelasan yang layak untuk dikomentari dalam konteks yang benar. Kandungan ayat ini merupakan sebuah ayat yang terpisah dengan sendirinya. Pewahyuannya juga terpisah pada peristiwa khusus namun ditempatkan di sini karena ia berhubungan dengan para istri Nabi Saw. Letak ayat ini; jika kita kaji secara seksama, menegaskan bahwa ia memiliki tujuan dan alasan yang signifikan dibaliknya. Ketika mengalamatkan pada awal-awal ayat dalam bentuk gender muannats, ada transisi dalam alamat dari mu’annats kepada mudzakkar.  Ketika merujuk secara bersama-sama kepada Rasulullah Saw, pronomina ini juga secara konsisten bercorak muannats. Karena sebuah gabungan antara pria dan wanita, secara umum gender mudzakkar yang digunakan. Transisi seperti ini dalam penggunanaannya didalam  gramatika bahasa, memberikan penjelasan bahwa klausa ini sedikit berbeda dengan yang digunakan untuk kelompok yang lain dari yang pertama, dan telah secara serasi ditempatkan di sini untuk menunjukkan perbandingan kedudukan Ahl al-Bait di hadapan para istri Nabi Saw.
Amr bin Abi Salamah yang dibesarkan oleh Rasulullah Saw, meriwayatkan:
“Ketika ayat ini turun, Nabi Saw berada di kediaman Ummu Salamah. Pada saat pewahyuan surat ini: “Sesungguhnya Allah ingin menjauhkan dosa darimu wahai Ahl al-Bait! Dan mensucikanmu sesuci-sucinya”, Rasulullah Saw mengumpulkan putrinya Fatimah, putra Fatimah, Hasan dan Husain, dan suaminya, ‘Ali, dan menutupi mereka termasuk dirinya, dengan kisa(kain)-nya dan berkata kepada Allah Swt,  Wahai Tuhanku, mereka inilah keturunanku! Jagalah mereka dari setiap bentuk kekotoran, dan sucikan mereka sesuci-sucinya.
Ummu Salamah, istri budiman Rasulullah Saw, menyaksikan peristiwa ini dengan penuh takjub, dengan rendah-hati, ia meminta kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah! Dapatkah aku bergabung dengan mereka?” Kemudiam dijawab oleh Rasulullah, “Tidak. Tetaplah ditempatmu, sesungguhnya engkau adalah orang yang memiliki kemuliaan.”[7]
Di sini bukan tempatnya menyebutkan referensi-referensi mengenai ayat ini; namun, saya ingin menukil Maulana Wahiduz Zaman, seorang ulama Sunni terkemuka, yang terjemahan dan tafsir Qur’annya beserta bukunya Anwârullughah (sebuah kamus al-Qur’an dan Hadits) adalah di antara salah satu referensi yang diakui. Ia menulis tafsir tentang ayat ini: “Beberapa orang berpikir bahwa ayat ini khusus untuk anggota keluarga yang memiliki hubungan darah dengan Nabi Saw, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Penerjemah ini berkata bahwa hadits sahih dan mempunyai sanad yang baik hingga Rasulullah mendukung pendapat ini, karena ketika Rasulullah Saw sendiri mengumumkan bahwa anggota keluarga ini hanya mereka ini (lima orang), maka menerima dan meyakininya menjadi wajib. Satu lagi tanda kebenaran dari pandangan ini adalah bahwa pronomina-pronomina yang digunakan sebelum dan setelah ayat ini adalah mua’annats, sementara dalam ayat ini adalah mudzakkar…’[8]
Kembali ia berkata dalam Anwârul Lughah: ” Pandangan yang benar adalah bahwa hanya lima orang yang termasuk dalam ayat tathir ini (Rasulullah, ‘Ali, Fâtimah, Hasan dan Husain), meskipun dalam penggunaan Bahasa Arab, istilah Ahl al-Bait juga digunakan untuk para istri. Beberapa orang yang membuktikan ayat ini bahwa kelima orang ini adalah ma’sum dan tanpa dosa. Tapi jika tidak ma’sum, maka tentu saja mereka mahfuz (terjaga dari perbuatan dosa dan salah).[9]
Saya telah menukil dua referensi di atas dan ingin menunjukkan bahwa tidak hanya Itsna ‘Asyariyah yang mengklaim pendapat di atas, namun ulama Sunni juga menegaskan klaim ini, sesuai dengan kaidah gramatika bahasa Arab dan hadits-hadits sahih Rasulullah, hanya ‘Ali, Fâtimah, Hasan dan Husain yang dimaksud ayat ini, disamping Rasulullah sendiri. Juga, jelas pandangan yang mengatakan bahwa kelima orang ini adalah tanpa dosa, disuarakan oleh ulama Sunni. Nampaknya akhirnya mereka berkata jika mereka tidak ma’sum (secara teori) mereka pasti terjaga dari salah dan dosa (secara praktik).
Ada banyak ayat dan hadits yang membenarkan ismah Ahl al-Bait, tapi karena masalah ruang dan waktu tidak memberikan banyak tempat untuk saya memaparkannya secara lebih detail, meskipun dalam bentuk yang singkat.

[1] . al-’Allamah al-Hilli: al-Babu ‘l-hadi ‘asha, Terjemahan Bahasa Inggris oleh W.M. Miller,hal. 50 dan hal-hal. 62-64.
[2] . Ibid. hal. 69.
[3] . Ibid. hal. 64-68.
[4] . Ibid. hal. 68.
[5] . Ibid., hal. 69.
[6] .   Lihat, as-Suyuti:Târi’khu ‘l-Khulafa,  hal.217.
[7] .Lihat, Holy Qur’an,  terjemahan Bahasa Inggris oleh, S. V. Mir Ahmed Ali, fn. 1857, hal. l261 .
[8] . Lihat. Wahidu ‘z-Zaman: Tafsir Wahidi, pada batas terjemahan al-Qur’an oleh penulis yang sama, parag. 22 catatan kaki. 7, hal. 549.
[9] .Lihat,Wahidu’z-Zaman: Anwârul-Lughah, pada.22,hal.51.

 

BAGIAN I

Hadis 12 Pemimpin

روى‌ جابر بن‌ سَمُرة‌ فقال‌: سمعت‌ُ النبيّ صلّي‌ الله عليه‌ [وآله‌] وسلّم‌ يقول‌: يكون‌ اثنا عشر أميراً. فقال‌ كلمة‌ً لم ‌أسمعها، فقال‌ أبي‌: أنّه‌ قال‌: كلّهم‌ من‌ قريش‌.
Jabir bin Samurah meriwayatkan,  “Aku mendengar Nabi (saww) berkata” :”Kelak akan ada Dua Belas Pemimpin.” Ia lalu melanjutkan kalimatnya yang saya tidak mendengarnya secara jelas. Ayah saya mengatakan, bahwa Nabi menambahkan, ”Semuanya berasal dari suku Quraisy.”[Sahih Bukhari (inggris),  Hadits: 9.329, Kitabul Ahkam;  Sahih al-Bukhari (arab) , 4:165, Kitabul Ahkam]
BAGIAN II
Pendapat Para Ulama Sunni
  Ibn Arabi 
فعددنا بعد رسول‌ الله صلّي‌ الله عليه‌ [وآله‌] وسلّم‌ اثني‌ عشر أميرًا، فوجدنا أبابكر، عمر، عثمان‌، عليًّا، الحسن‌، معاوية‌، يزيد، معاوية‌ بن‌ يزيد، مروان‌، عبد الملك‌ بن‌ مروان‌، الوليد، سليمان‌، عمر بن‌ عبد العزيز، يزيد بن‌ عبدالملك ، ‌مروان‌ بن محمد بن مروان، السفّاح‌،… وبعده‌ سبعة‌ وعشرون‌ خليفة‌ بن‌ بني‌ العبّاس‌. وإذا عددنا منهم‌ اثني‌ عشر انتهي‌ العدد بالصّورة‌ إلي‌ سليمان‌ بن‌ عبد الملك‌. وإذا عددناهم‌ بالمعني‌ كان‌ معنا منهم‌ خمسة‌، الخلفاء الاربعة‌، وعمر بن‌ عبد العزيز.
ولم‌ أعلم‌ للحديث‌ معني‌. ابن‌ العربي‌ّ، «شرح‌ سنن‌ التّرمذي‌ّ» 9: 68 ـ 69
Kami telah menghitung pemimpin (Amir-Amir) sesudah Nabi (sawa) ada dua belas. Kami temukan nama-nama mereka itu sebagai berikut: Abubakar, Umar, Usman, Ali, Hasan, Muawiyah, Yazid, Muawiyah bin Yazid, Marwan, Abdul Malik bin Marwan, Yazid bin Abdul Malik, Marwan bin Muhammad bin Marwan, As-Saffah… Sesudah ini ada lagi 27 khalifah Bani Abbas.
Jika kita perhitungkan 12 dari mereka, kita hanya sampai pada Sulaiman. Jika kita ambil apa yang tersurat saja, kita cuma mendapatkan 5 orang di antara mereka dan kepadanya kita tambahkan 4 ‘Khalifah Rasyidin’, dan Umar bin Abdul Aziz….
Saya tidak paham arti hadis ini. [Ibn Arabi, Syarh Sunan Tirmidzi, 9:68-69]
Qadi Iyad Al-Yahsubi  
قال‌: إنّه‌ قد ولي‌ أكثر من‌ هذا العدد. وقال‌: وهذا اعتراض‌ باطل‌ لانّه‌ صلّى‌ الله عليه‌ [وآله‌] وسلّم‌ لم‌ يقل‌: لايلي‌ الاّ اثنا عشرخليفة‌؛ وإنّما قال‌: يلي‌. وقد ولي‌ هذا العدد، ولايضرّ كونه‌ وُجد بعدهم‌ غيرهم‌. النووي‌ّ: «شرح‌ صحيح‌ مسلم‌» 12: 201 ـ 202. ابن‌ حجر العسقلاني‌ّ: «فتح‌ الباري‌» 16: 339
Jumlah khalifah yang ada lebih dari itu. Adalah keliru untuk membatasinya hanya sampai angka dua belas. Nabi (saw) tidak mengatakan bahwa jumlahnya hanya dua belas dan bahwa tidak ada tambahan lagi. Maka mungkin saja jumlahnya lebih banyak lagi. [Al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, 12:201-202;  Ibn Hajar al-'Asqalani, Fath al-Bari, 16:339]
Jalaludin as-Suyuti
إن‌ّ المراد وجود اثني‌ عشر خليفة‌ في‌ جميع‌ مدّة‌ الاسلام‌ إلي‌ يوم‌ القيامه‌ يعملون‌ بالحق‌ّ وإن‌ لم‌ تتوال‌ أيّامهم‌…وعلى‌ هذا فقد وُجد من‌ الاثني‌ عشر خليفة‌ الخلفاء الاربعة‌، والحسن‌، ومعاوية‌، وابن‌ الزّبير، وعمر بن‌ عبد العزيز، هؤلاء ثمانية‌. ويحتمل‌ أن‌ يُضم‌ّ إليهم‌ المهتدي‌ من‌ العبّاسيّين‌، لانّه‌ فيهم‌ كعمر بن‌ عبد العزيز في‌ بني‌ أُميّة‌. وكذلك الطاهر لما اوتي‌ من‌ العدل‌، وبقي‌ الاثنان‌ المنتظران‌ أحدهما المهدي‌ لانّه‌ من‌ آل‌ بيت‌ محمّد صلّي‌ الله عليه‌ [وآله‌] وسلّم‌. السّيوطي‌: «تاريخ‌ الخلفاء»: 12. ابن‌ حجر الهيثمي‌ّ: الصّواعق‌ المحرقة‌: 19
Hanya ada dua belas Khalifah sampai hari kiamat. Dan mereka akan terus melangkah dalam kebenaran, meski mungkin kedatangan mereka tidak secara berurutan. Kita lihat bahwa dari yang dua belas itu, 4 adalah Khalifah Rasyidin, lalu Hasan, lalu Muawiyah, lalu Ibnu Zubair, dan akhirnya Umar bin Abdul Aziz. Semua ada 8. Masih sisa 4 lagi. Mungkin Mahdi, Bani Abbasiyah bisa dimasukkan ke dalamnya sebab dia seorang Bani Abbasiyah seperti Umar bin Abdul Aziz yang (berasal dari) Bani Umayyah. Dan Tahir Abbasi juga bisa dimasukkan sebab dia pemimpin yang adil. Jadi, masih dua lagi. Salah satu di antaranya adalah Mahdi, sebab ia berasal dari Ahlul Bait Nabi (as).” [Al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa, Halaman 12; Ibn Hajar al-Haytami, Al-Sawa'iq al-Muhriqa Halaman 19]
Ibn Hajar al-’Asqalani 
لم‌ ألق‌ أحدًا يقطع‌ في‌ هذا الحديث‌، يعني‌ بشي‌ء معيّن‌؛ فان‌ّ في‌ وجودهم‌ في‌ عصر واحد يوجد عين‌ الافتراق‌، فلايصح‌ّ أن‌ يكون‌ المراد. ابن‌ حجر العسقلاني‌ّ، «فتح‌ الباري‌» 16: 338 ـ 341
Tidak seorang pun mengerti tentang hadis dari Sahih Bukhari ini.
Adalah tidak benar untuk mengatakan bahwa Imam-imam itu akan hadir sekaligus pada satu saat bersamaan. [Ibn Hajar al-'Asqalani, Fath al-Bari 16:338-341]
 Ibn al-Jawzi 
وأوّل‌ بني‌ أُميّة‌ يزيد بن‌ معاوية‌، وآخرهم‌ مروان‌ الحمار. وعدّتهم‌ ثلاثة‌ عشر. ولايعدّ عثمان‌، و معاوية‌، ولا ابن‌ الزّبير لكونهم‌ صحابة‌. فإذا أسقطناهم‌ منهم‌ مروان‌ بن‌ الحكم‌ للاختلاف‌ في‌ صحبته‌، أو لانّه‌ كان‌ متغلّبًا بعد أن‌ اجتمع‌ النّاس‌على‌ عبد الله بن‌ الزّبير صحّت‌ العدّة‌…وعند خروج‌ الخلافة‌ من‌ بني‌ أُميّة‌ وقعت‌ الفتن‌ العظيمة‌ والملاحم‌ الكثيرة‌ حتّى ‌استقرّت‌ دولة‌ بني‌ العبّاس‌، فتغيّرت‌ الاحوال‌ عمّا كانت‌ عليه‌ تغيّرًا بيّنًا. ابن‌ الجوزي‌ّ ، «كشف‌ المشكل‌» ، نقلاً عن‌ ابن‌ حجر العسقلاني‌ّ في‌ «فتح‌ الباري‌» 16: 340، عن‌ سبط‌ ابن‌ الجوزي‌ّ.
Khalifah pertama Bani Umayyah adalah Yazid bin Muawiyah dan yang terakhir adalah Marwan Al-Himar. Total jumlahnya tiga belas. Usman, Muawiyah dan Ibnu Zubair tidak termasuk karena mereka tergolong Sahabat Nabi (s).  Jika kita kecualikan (keluarkan) Marwan bin Hakam karena adanya kontroversi tentang statusnya sebagai Sahabat atau karena ia berkuasa padahal Abdullah bin Zubair memperoleh dukungan masyarakat, maka kita mendapatkan angka Dua Belas.… Ketika kekhalifahan muncul dari Bani Umayyah, terjadilah kekacauan yang besar sampai kukuhnya (kekuasaan) Bani Abbasiyah. Bagaimana pun, kondisi awal telah berubah total. [Ibn al-Jawzi, Kashf al-Mushkil, sebagaimana dikutip dalam Ibn Hajar al-'Asqalani, Fath al-Bari 16:340 dari Sibt Ibn al-Jawzi]
Al-Nawawi
ويُحتمل‌ أن‌ المراد [بالائمّة‌ الاثني‌ عشر] مَن‌ْ يُعَزُّ الإسلام‌ في‌ زمنه‌ ويجتمع‌ المسلمون‌ عليه‌.
النووي‌ّ، «شرح‌ صحيح‌ مسلم‌» 12: 202 ـ 203
Ia bisa saja berarti bahwa kedua belas Imam berada dalam masa (periode) kejayaan Islam. Yakni ketika Islam (akan) menjadi dominan sebagai agama. Para Khalifah ini, dalam masa kekuasaan mereka, akan menyebabkan agama menjadi mulia.[Al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim ,12:202-203]
 Al-Bayhaqi   
وقد وُجد هذا العدد (اثنا عشر) بالصفة‌ المذكورة‌ إلي‌ وقت‌ الوليد بن‌ يزيد بن‌ عبد الملك. ثم‌ّ وقع‌ الهرج‌ والفتنة ‌العظيمة‌…ثم‌ّ ظهر ملك العبّاسيّة‌…وإنّما يزيدون‌ على‌ العدد المذكور في‌ الخبر إذا تركت‌ الصفة‌ المذكورة‌ فيه‌، أو عُدَّ منهم ‌من‌ كان‌ بعد الهرج‌ المذكور فيه‌.
ابن‌ كثير: «البداية‌ والنّهاية‌» 6: 249؛ السّيوطي‌ّ، «تاريخ‌ الخلفاء»:11
Angka (dua belas) ini dihitung hingga periode Walid bin Abdul Malik. Sesudah ini, muncul kerusakan dan kekacauan. Lalu datang masa dinasti Abbasiyah. Laporan ini telah meningkatkan jumlah Imam-imam. Jika kita abaikan karakteristik mereka yang datang sesudah masa kacau-balau itu, maka angka tadi menjadi jauh lebih banyak.” [Ibn Katsir, Ta'rikh, 6:249; Al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa Halaman 11]
 Ibn Katsir
فهذا الّذي‌ سلكه‌ البيهقي‌ّ، وقد وافقه‌ عليه‌ جماعة‌ من‌ أن‌ّ المراد بالخلفاء الاثني‌ عشر المذكورين‌ في‌ هذا الحديث‌ هم ‌المتتابعون‌ إلي‌ زمن‌ الوليد بن‌ يزيد بن عبد الملك‌ الفاسق‌ الّذي‌ قدّمنا الحديث‌ فيه‌ بالذّم‌ّ والوعيد، فانّه‌ مسلك‌ فيه‌ نظر…فان‌ اعتبرنا ولاية‌ ابن‌ الزبير قبل‌ عبد الملك‌ صاروا ستّة‌ عشر، وعلى كلّ تقدير فهم‌ اثنا عشر قبل‌ عمر بن‌ عبد العزيز. فهذا الّذي‌ سلكه‌ على‌ هذا التّقدير يدخل‌ في‌ الاثني‌ عشر يزيد بن‌ معاوية‌، و يخرج‌ منهم‌ عمر بن‌ عبد العزيز الّذي‌ أطبق‌ الائمّة‌ على شكره‌ وعلى مدحه‌، وعدوّه‌ من‌ الخلفاء الرّاشدين‌، وأجمع‌ الناس‌ قاطبة‌ على‌ عدله‌. ابن‌ كثير، «البداية‌ والنّهاية‌» 6: 249 ـ 250
Barang siapa mengikuti Bayhaqi dan setuju dengan pernyataannya bahwa kata ‘Jama’ah’ berarti Khalifah-khalifah yang datang secara tidak berurutan hingga masa Walid bin Yazid bin Abdul Malik yang jahat dan sesat itu, maka berarti ia (orang itu) setuju dengan hadis yang kami kritik dan mengecualikan tokoh-tokoh tadi.
Dan jika kita menerima Kekhalifahan Ibnu Zubair sebelum Abdul Malik, jumlahnya menjadi enam belas. Padahal jumlah seluruhnya seharusnya dua belas sebelum Umar bin Abdul Aziz. Dalam perhitungan ini, Yazid bin Muawiyah termasuk di dalamnya sementara Umar bin Abdul Aziz tidak dimasukkan.  Meski demikian, sudah menjadi pendapat umum bahwa para ulama menerima Umar bin Abdul Aziz sebagai seorang Khalifah yang jujur dan adil. [Ibn Katsir, Ta'rikh, 6:249-250]
MEREKA BINGUNG ?
Kita perlu pendapat seorang ulama Sunni lain yang dapat mengklarifikasi siapa Dua Belas Penerus, Khalifah, para Amir atau Imam-imam sebenarnya.
Al-Dzahabi mengatakan dalam Tadzkirat al-Huffaz , jilid 4, halaman 298, dan Ibn Hajar al-’Asqalani menyatakan dalam al-Durar al Kaminah, jilid 1, hal. 67, bahwa Shadrudin Ibrahim bin Muhammad bin al-Hamawayh al-Juwaini al-Syafi’i  adalah seorang ahli Hadis yang mumpuni.
BAGIAN III
Al-Juwayni Asy-Syafi’i : 
عن‌ عبد الله بن‌عبّاس‌ رضي‌ الله عنه‌، عن‌ النّبي‌ّ  صلّي‌ الله عليه‌ [وآله‌] وسلّم‌ أنّه‌ قال‌: أنا سيّد المُرسَلين‌، وعلي‌ّ بن‌ أبي‌ طالب‌ سيّدالوصيّين‌، وأن‌ّ أوصيائي‌ بعدي‌ اثنا عشر، أوّلهم‌ علي‌ّ بن‌ أبي‌ طالب‌، وآخرهم‌ القائم‌.
 dari Abdullah bin Abbas (ra) bahwa Nabi (sawa) mengatakan,”Saya adalah penghulu para Nabi dan Ali bin Abi Thalib adalah pemimpin para penerus, dan sesudah saya akan ada dua belas penerus. Yang pertama  adalah Ali bin Abi Thalib dan yang terakhir adalah al-Qaim.
عن‌ ابن‌ عبّاس‌ رضي‌ الله عنه‌، عن‌ النبي‌ّ صلّي‌ الله عليه‌ [وآله‌] وسلّم‌ أنّه‌ قال‌: أن‌ّ خلفائي‌ وأوصيائي‌وححج‌ الله على‌ الخلق‌ بعدي‌ لاثنا عشر، أوّلهم‌ أخي‌، وآخرهم‌ وَلَدي‌. قيل‌: يا رسول‌ الله، ومن‌ أخوك‌؟ قال‌: علي‌ّ بن‌ أبي‌طالب‌. قيل‌: فمن‌ وَلَدُك‌َ؟ قال‌: المهدي‌ّ الّذي‌ يملاها قسطًا وعدلاً كما مُلئت‌ جورًا وظلمًا. والّذي‌ بعثني‌ بالحق‌ّ بشيرًا لو لم‌ يبق‌ من‌ الدّنيا الاّ يوم‌ واحد لطَوَّل‌ الله ذلك‌ اليوم‌ حتّي‌ يخرج‌ فيه‌ ولدي‌ المهدي‌، فينزل‌روح‌ الله عيسى بن‌ مريم‌ فيُصلّي‌ خلفَه‌ُ، وتُشرق‌ الارض‌ بنور ربّها، ويبلغ‌ سلطانه‌ المشرق‌ والمغرب‌.
Dari Ibnu Abbas (r) bahwa Rasulullah (sawa) berkata: ”Sudah pasti bahwa washi-washiku dan Bukti (hujjah) Allah bagi makhluk sesudahku ada dua belas. Yang pertama di antara mereka adalah saudaraku dan yang terakhir adalah anak (cucu) ku.”  Orang bertanya: “Wahai Rasulullah, siapakah saudaramu itu?”. Beliau menjawab: “Ali bin Abi Thalib.” Lalu beliau ditanyai lagi: “ Dan siapakan anak (cucu) mu itu?” Nabi yang suci (sawa) menjawab: ”Al-Mahdi. Dia akan mengisi bumi dengan keadilan dan persamaan ketika ia (bumi) dipenuhi ketidakadilan dan tirani. Dan demi Yang Mengangatku sebagai pemberi peringatan dan memberiku  kabar gembira, meski seandainya masa berputarnya dunia ini tinggal sehari saja, Allah SWT akan memperpanjang hari itu sampai diutusnya (anakku) Mahdi, kemudian ia akan disusul Ruhullah Isa bin Maryam (as) yang turun ke bumi dan berdoa di belakangnya (Mahdi). Dunia akan diterangi oleh sinarnya, dan kekuatannya akan mencapai hingga ke timur dan ke barat.”
رسول‌ الله صلّي‌ الله عليه‌ [وآله‌] وسلّم‌ أنّه‌ قال‌: أنا، وعلي‌ّ، والحسن‌، والحسين‌، وتسعة‌ من‌ ولد الحسين‌ مطهّرون‌ معصومون‌. الجويني‌ّ، «فرائد السمطين‌» مؤسّسة‌ المحمودي‌ّ للطّباعة‌ والنشر، بيروت‌، 1978، ص‌
 Rasulullah (sawa) mengatakan: ”Aku dan Ali dan Hasan dan Husain dan sembilan anak cucu Husain adalah yang disucikan (dari dosa) dan dalam kebenaran.”  [Al-Juwaini, Fara'id al-Simthain, Mu'assassat al-Mahmudi li-Taba'ah, Beirut 1978, h. 160.]
Di antara semua mazhab Islam, hanya Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah yang percaya pada individu-individu sebagai Dua Belas orang dari Ahlul Bait Raulullah saww yang berhak sebagai Penerus Rasulullah saww.


Kaum Muslimin, di dalam kitab shahih mereka, telah sepakat (ijma’) bahwa Rasulullah saw. telah menyebutkan bahwa jumlah khalifah sesudahnya sebanyak 12 orang, sebagaimana disebutkan di dalam Shahih Bukhari dan Muslim, Bukhari di dalam shahihnya, pada awal Kitab Al-Ahkam, bab Al-Umara min Quraisy (Para Pemimpin dari Quraisy), juz IV, halaman 144; dan di akhir Kitab Al-Ahkam, halaman 153, sedangkan dalam Shahih Muslim disebutkan di awal Kitab Ad-Imarah, juz II, halaman 79. Hal itu juga disepakati oleh Ashhab Al-Shahhah dan Ashhab Al-Sunan, bahwasanya diriwayatkan dari Rasulullah saw:
Agama masih tetap akan tegak sampai datangnya hari kiamat dan mereka dipimpin oleh 12 orang khalifah, semuanya dari Quraisy.
Diriwayatkan dasi jabir bin Samrah, dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: ‘Setelahku akan datang 12 Amir.’ Lalu Rasulullah mengatakan sesuatu yang tidak pernah aku dengar. Beliau bersabda: ‘Ayahku semuanya dari Quraisy’. “
Ringkasnya, seluruh umat Islam sepakat bahwa Rasulullah saw. membatasi jumlah para Imam setelah beliau sebanyak 12 Imam; jumlah mereka sama dengan jumlah Nuqaba bani lsrail; jumlah mereka juga sama dengan jumlah Hawari Isa a.s
.
Dalam Al-Quran ada jumlah yang mendukung jumlah 12 di atas. Kata Imam dan berbagai bentuk turunannya disebutkan sebanyak 12 kali, sama dengan jumlah Imam kaum Muslimin yang dibatasi Rasulullah saw. Kata tersebut terdapat pada ayat-ayat berikut:
1.
Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagai Imam bagi seluruh manusia.”Ibrahim berkata: “Dan saya memohon juga dari keturunanku.” Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak bagi mereka yang zalim.” (Al-Baqarah: 124)
2.
….. Dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah dan sebelum AI-Quran itu telah ada Kitab Musa yang menjadi pedoman (imama ) dan rahmat ….. (Hud: 17)
3.
….. Dan jadikanlah kami Imam bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Furqan: 74)
4.
Dan sebelum Al-Quran itu telah ada Kitab Musa sebagai pedoman (imam) dan rahmat …..Al-Ahqaf: 12)
5.
….. Maka Kami binasakan mereka. Dan sesungguhnya kedua
kota itu benar-benar terletak di jalan umum (bi imam) yang terang. (Al-Hijr: 79)
6.
….. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk (Imam) yang nyata. (Yasin: 12)
7.
(Ingatlah) suatu hari yang (di hari itu) Kami panggil setiap umat dengan pemimpinnya (imamihim). (AI-Isra: 17)
8.
….. Maka perangilah pemimpin-pemimpin (aimmah) kaum kafir, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar mereka berhenti. (At-Taubah: 12).
9.
Kami telah menjadikan mereka sebagai pemimpin-pemimpin (aimmah) yang memberi petunjuk dengan perintah Kami …… (AI-Anbia: 73)
10.
…… Dan Kami hendak menjadikan mereka sebagai pemimpin­pemimpin (aimmah) dan menjadikan mereka sebagai para pewaris (bumi). (Al-Qashash: 5)
11.
Dan Kami jadikan mereka pemimpln-pemimpin (aimmah) yang menyeru (manusia) ke neraka, dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong. (Al-Qashash: 41).
12.
Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin (aimmah) yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ….. (Al-Sajdah: 24


Ulama Sunni Syaikh Sulayman Al-Qunduzi Al-Balkhi Al-Hanafi dan Nama 12 Imam Yang Disebutkan Oleh Rasulullah (saww)

BAGIAN I
Selama ini banyak kalangan yang tidak mengetahui siapa sebenarnya Syaikh Sulaiman Al-Qunduzi Al-Balkhi Al-Hanafi, yang merupakan salah satu Ulama Sunni yang banyak mencatat riwayat-riwayat mengenai keutamaan Rasulullah (saww) dan Ahlul Bait (as). Dan anehnya, oleh kaum Nawashib, Syaikh Sulaiman Al-Hanafi dituduh sebagai Syiah, apa motif dibalik semua itu..? apakah kebiasaan kaum Naswahib yang suka menuduh seseorang yang banyak menulis keagungan Rasulullah (saww) dan Ahlul Bait (as) pada khususnya langsung mereka vonis sebagai Syiah!? hal ini tak jauh beda dengan Ibn Abil Hadid seorang bermazhab Mu’tazilah yang mereka katakan Syiah!
Nawashib harusnya sadar bahwa kedekilan otak mereka sampai detik ini bukanlah suatu yang asing, apakah mereka tidak malu dengan cara mereka yang suka menyembunyikan keterangan yang jelas bahkan terkadang memelintir sebuah riwayat atau membuangnya jika tidak sesuai dengan nafsu mereka..!?
Sayikh Sulaiman Al Hanafi adalah salah satu Mufti Agung Konstantinopel dan Ketua Kekhalifahan Utsmani, pusat islam Sunni pada masanya. Sangat tidak masuk akal jika dikatakan beliau sebagai Syiah dan apakah logis orang syiah menjadi mufti agung dalam kekahlifahan Ustmani tersebut? Sedangkan Ottoman sangat tidak suka dengan Syiah atau siapapun yang cenderung kepada Syiah!
Bahkan sejarah tidak mencatat adanya pengusiran atau tuduhan kepada Syaikh Sulaiman al Hanafi pada saat penulisan kitab beliau yang agung yaitu Yanabiul Mawaddah, jika memang beliau syiah maka pemerintahan Ottoman pasti akan menyingkirkannya.
Pandangan Sunni tentang Syaikh Sulaiman Al Qunduzi Al Balkhi Al Hanafi
Dalam Kitab الأعلام :
“(Al Qunduzi) (1220-1270H) (1805-1863 M) Sualyman putra dari Khuwajah Ibrahim Qubalan Al Husaini Al Hanafi Al Naqshbandi al Qunduzi : Seorang yang shaleh, berasal dari Balakh, wafat di kota Qustantinya, ia memiliki kitab “Yanabiul Mawaddah” yang berisi tentang keutamaan Rasulullah dan Ahlul Baitnya” (الأعلام, j.3, h.125)
.
Umar Ridha Kahalah mencatat dalam معجم المؤلفين :
Sulaiman Al Qunduzi (1220-1294 H) (1805-1877)
Sulaiman bin Ibrahim al Qunduzi al Balkhi al Husaini al Hasymi, seorang Sufi, kitabnya (karyanya) : Ajma al Fawaid, Musyriq al Akwan, Yanabiul Mawaddah….” (Muajam al Mualfiin, oleh Umar Ridha Kahalah, j. 4)
Ulama Sunni Ismail Basya Al Baghdadi (اسماعيل باشا البغدادي) dalam هدية العارفين
Mencatat :
“Al Qunduzi – Sulayman ibn Khuwajah Qalan Ibrahim ibn Baba Khawajah al Qunduzi al Balkhi al Sufi Al Husaini, tinggal di Qustantinya, lahir pada tahun 1220 H dan wafat 1294″ (Hidyat al Arifin, j.1, h. 408)
.
Dalam ايضاح المكنون في الذيل على كشف الظنون Ismail Basya Al Baghdadi juga mencatat :
“Al Qunduzi – Sulayman bin Khawaja Qalan Ibrahim bin baba Khuwaja Al Qunduzi al Balkhi al Sufi al Husaini. Dia tinggal di Qustantiya, lahir pada 1220 H dan wafat tahun 1294 H. Karyanya : Jama’ Al Fawa’id, Masyriq al Akwan, Yanabiul Mawadah mengenai karakteristik Rasulullah (saww) dan hadis dari Ahlul Bait”
.
Yusuf Alyan Sarkys mencatat dalam معجم المطبوعات العربية, j.1 h.586 :
“Sulayman bin Khujah Qublan al Qunduzi al Balkhi. (kitabnya) Yanabiul Mawadah berisi Keutamaan Amirul Mu’minin Ali”
.
Sangat aneh jika dikatakan bahwa Syaikh Sulayman yang bermazhab Hanafi ini di tuduh sebagai Syiah..! Kenyataannya beberapa ulama Sunni (Mazhab Hanafi) seperti :
1. Saim Khisthi al Hanafi dalam Musykil Kushah mengutip banyak Hadis dari Yanabiul Mawaddah yang disusun oleh Syaikh Sulaiman al Hanafi.
2. Dr. Muhamad Tahir ul Qadri (“Hub Ali” hal.28) mengacu pada Yanabiul Mawaddah ketika mengutip Hadis mengenai keutamaan Ahlul Bait (as).
3. Mufti Ghulam Rasul (Hasab aur Nasab, j.1 h.191, London) juga mengacu pada Yanabiul Mawadah ketika mengutip hadis keutamaan Ahlul Bait (as).
Jika memang Syaikh Sulayman Al Hanafi dikatakan Syiah oleh kaum Nawashib lalu apakah beberapa ulama terkemuka Mazhab Hanafi yang disebutkan diatas begitu bodoh atau buta huruf hingga mereka mengutip catatan ulama Syi’ah (yg kata mereka jgn percaya sama syiah) bagi para pembaca Sunni ?
Alasan paling dasar dibalik “pengecapan” dengan menyatakan figur yang sebenarnya Sunni sebagai Syiah oleh kaum Nawashib adalah karena ulama sejati seperti Syaikh Sulayman Al Hanafi dianggap berpihak kepada Syiah hanya karena banyak mencatat hadis Rasulullah (saww) yang mana riwayatnya banyak dianggap sesuai dengan keyakinan Syiah..!
BAGIAN II
Syaikh Sulayman Al Qunduzi Al Hanafi Mencatat Nama-Nama Para Imam Yang Harus Di ikuti Setelah Rasulullah Saww Dalam Kitabnya Yanabiul Mawaddah
Yanabiul Mawaddah (j.3, h.100-101) dan Yanabiul Mawaddah (j.3 h.284, Tahqiq oleh Sayyid Ali Jamali Asyraf Al Husayni), riwayat dari Jabir al-Anshari (ra) berkata :
Jundal bin Janadah berjumpa Rasulullah (saww) dan bertanya kepada beliau beberapa masalah. Kemudian dia berkata :
Riwayat seperti diatas tidak hanya satu dalam kitab Yanabiul Mawaddah, namun ini sudah cukup sebagai bukti bahwa nama para Imam Ahlul Bait telah dijelaskan oleh Rasulullah (saww) dan tercatat dalam Kitab Sunni sendiri.
Beritahukan kepadaku wahai Rasulullah tentang para washi anda setelah anda supaya aku berpegang kepada mereka.
Beliau (saww) menjawab : “Washiku dua belas orang.”
Lalu Jundal berkata : “Begitulah kami dapati di dalam Taurat.”
Kemudian dia berkata : “Namakan mereka kepadaku wahai Rasulullah.”
Maka Beliau (saww) menjawab :
Pertama adalah penghulu dan ayah para washi adalah Ali. Kemudian dua anak lelakinya Hasan dan Husain. Berpeganglah kepada mereka dan janganlah kejahilan orang-orang yang jahil itu memperdayakanmu. Kemudian Ali bin Husain Zainal Abidin, Allah akan mewafatkan (Ali bin Husain) dan menjadikan air susu sebagai minuman terakhir di dunia ini.”
Jundal berkata :
“Kami telah mendapatinya di dalam Taurat dan di dalam kitab-kitab para Nabi (as) seperti Iliya, Syibra dan Syabir. Maka ini adalah nama Ali, Hasan dan Husain, lalu siapa setelah Husain..? siapa nama mereka..?”
Berkata (Rasulullah) saww :
Setelah wafatnya Husain, imam setelahnya adalah putranya Ali dipanggil Zainal Abidin setelahnya adalah anak lelakinya Muhammad, dipanggil al-Baqir. Setelahnya anak lelakinya Ja’far dipanggil al-Shadiq. Setelahnya anak lelakinya Musa dipanggil al-Kadzim. Setelahnya anak lelakinya Ali dipanggil al-Ridha. Setelahnya anak lelakinya Muhammad dipanggil al Taqy Az Zaky. Setelahnya anak lelakinya Ali dipanggil al-Naqiy al-Hadi. Setelahnya anak lelakinya Hasan dipanggil al-Askari. Setelahnya anak lelakinya Muhammad dipanggil al-Mahdi al-Qa’im dan al-Hujjah. Beliau ghaib dan akan keluar memenuhi bumi dengan kejujuran dan keadilan sebagaimana itu dipenuhi dengan kefasadan dan kezaliman. Alangkah beruntungnya bagi orang-orang yang bersabar semasa ghaibnya. Dan alangkah beruntungnya bagi orang-orang yang bertaqwa terhadap Hujjah mereka. Dan mereka itulah orang yang disifatkan oleh Allah di dalam firmanNya “Petunjuk bagi mereka yang bertaqwa yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib.”(1) Kemudian beliau membaca “Maka sesungguhnya partai Allah itulah yang pasti menang.”(2) Beliau bersabda : Mereka adalah dari partai Allah (hizbullah).”

[1]. Surah al-Baqarah (2) : 2-3
[2]. Surah al-Mai’dah (5) :56