Menyusul kejadian Sampang aliran desakan kepada MUI untuk
mengeluarkan fatwa tentang sesatnya Syiah kian deras. Ini diakui oleh
Sekjen MUI, KH. Ichwan Syam. Menurutnya, banyak pihak yang meminta
dirinya untuk memproses keluarnya fatwa sesat itu.
Namun salah seorang fungsionaris PB NU itu menegaskan bahwa MUI
sangat berhati-hati untuk melakukan hal tersebut karena Syiah adalah
salah satu madzhab yang diakui oleh ulama-ulama Islam internasional.
“Syiah bagian dari Islam. Mereka tiap tahun haji ke Baitullah. Tidak ada
masalah.” tegasnya.
maksud beliau mungkin sbb : “Tidak Ada Ulama Dunia (YANG PAHAM iSLAM) yang Menyesatkan Syiah”
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berkomentar ringkas
Proses penyelesaian hukum atas peristiwa Sampang I (Desember 2011)
masih meninggalkan berbagai persoalan. Proses hukumnya, dalam pendapat
berbagai pihak dianggap banyak kejanggalan. Hanya ada 1 orang yang
dianggap menjadi pelaku dan divonis 3 bulan penjara.
Kini ia telah bebas. Semantara itu, KH. Tajul Muluk yang menjadi
korban dalam kasus tersebut dikriminalisasi dengan tuduhan melakukan
penistaan agama. Hakim PN Sampang telah menjatuhkan vonis 2 tahun
penjara. Ironis dan mengecewakan.
Dalam suasana menanti proses pengadilan tingkat banding di Pengadilan
Tinggi Jawa Timur, Sampang berdarah lagi dengan tragedi yang lebih
besar. Upaya-upaya rekonsiliasi dan berbagai pendekatan yang tengah
dilakukan berbagai komponen masyarakat kini mendekati titik kesia-siaan.
Semua dihancurkan oleh tindakan tak bertanggung jawab sekelompok massa
yang diperkirakan berjumlah 1000 orang dengan menyerang, merusak, dan
membakar. Bahkan, kejadian ini telah menelan korban jiwa.
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
berkomentar ringkas, “Ini sangat memalukan.” Namun ketika ditanya lebih
jauh, beliau bersedia memberikan statemen pribadi agar segala persoalan
kemanusiaan yang muncul dalam peristiwa itu ditangani terlebih dahulu.
“Selesaikan dulu, dan utamakan penanganan kemanusiaan warga yang menjadi
korban. Itu lebih penting, nanti hal-hal lainnya menyusul.” Kata
akademisi yang kini menjabat sebagai Wakil Menteri Agama itu. Lebih
lanjut beliau menjelaskan bahwa semua yang kedinginan, kehilangan tempat
tinggal, butuh pakaian, selimut, pengobatan, tempat tinggal, dan
lain-lain yang berdimensi kemanusiaan harus menjadi prioritas.
“Jangan biarkan pelakunya berkeliaran. Harus ada tindakan tegas
secepatnya” tutur beliau. Memang selama ini pembiaran para pelaku
menikmati udara bebas dan tanpa tersentuh hukum membuat potensi konflik
kian mengancam di masa mendatang.
Ditanya tentang hal-hal yang perlu dikoreksi dari penyelenggaraan
hukum dan ketertiban masyarakat, serta jaminan keamanan di Indonesia,
beliau menjelaskan bahwa pihaknya sedang berkomunikasi dengan pihak
kampus. Beliau baru saja meminta kepada Rektor IAIN Sunan Ampel
Surabaya, Prof. Abd. A’la, yang juga orang Madura untuk melakukan studi
yang komprehensif. Hal ini ditempuh untuk memperoleh data yang cukup
dalam mendukung kajian akademis yang lebih utuh sehingga ditemukan akar
persoalan dalam berbagai tinjauan, baik sosiologis, budaya, psikologis
dan psiko-sosial, hingga hukum, yang diharapkan dapat menjadi landasan
pengambilan kebijakan dalam rangka menuntaskan masalah tersebut di masa
mendatang.
Tidak ada alasan kuat untuk serta-merta menyatakan mereka sesat.
“Tidak ada ulama di dunia ini yang menyatakan Syiah sesat” kata beliau.
Oleh sebab itu, seharusnya yang perlu dikedepankan adalah saling
pengertian dan kerjasama yang produktif.
Beliau menghimbau agar pihak keamanan memproses para pelakunya secara
adil berdasarkan ketentuan hukum. “Kasus ini harus diproses secara
hukum” kata beliau. KH. Ichwan Syam juga mengharapkan kedewasaan
masyarakat untuk tidak terhasut oleh pihak-pihak yang sering menyebarkan
informasi-informasi yang dapat menyulut emosi. Masyarakat harus waspada
terhadap provokator yang dapat memicu konflik. Ia juga berharap agar
aparat keamanan lebih tanggap dan sigap sehingga pelaku-pelakunya dan
aktor intelektual di balik peristiwa itu dapat ditangkap sesegera
mungkin
Ketua Dewan Syura Ahlulbait Indonesia mengecam !
Pertama menyesalkan dan mengutuk peristiwa penyerangan terhadap
Muslim Syiah. Ini termasuk perbuatan yang biadab. Pemerintah harus
menuntaskan masalah ini sampai ke akar-akarnya dengan menangkap dan
menghukum pelaku tindak kekerasan dan para provokator.
Ketua Dewan Syura Ahlulbait Indonesia itu kemudian mengingatkan
kepada umat/kaum muslimin untuk tidak terprovokasi terhadap masalah ini.
Ini bukan masalah Sunni-Syi’ah, tetapi ini masalah tindak kriminal yang
dilakukan oleh sekelompok orang yang tidak beradab. Pihak kepolisian
tidak boleh membiarkan masalah ini berlarut-larut. Sekali lagi himbauan
kepada umat/kaum muslimin agar tidak terjebak di dalam permainan
pihak-pihak yang ingin mengadu domba untuk memecah belah umat Islam
Bagaimana mendeskripsikan peristiwa Sampang kemarin? Memang tidak mudah.
Dari Antara: “Ketua DPR RI Marzuki Alie mengajak semua pihak untuk
cerdas dalam menyikapi informasi dan isu terkait konflik di masyarakat
terutama yang disampaikan melalui media sosial. ”Semua pihak harus
cerdas menyikapi berita media khususnya media sosial yang menggambarkan
seolah konflik agama. Padahal jelas, dilandasi oleh persoalan warisan
dengan memakai isu agama untuk menyesatkan umat.”
Siapa yang menyesatkan umat? Rois menganggap Tajul sesat, atau Tajul
menyesatkan umat? Apa gunanya analisis ini, yang dikeluarkan beberapa
jam setelah satu orang mati dan ada yang sedang sekarat serta 3 orang
kritis akibat diserang senjata tajam? Media sosial apa yang
menggambarkan ini sebagai konflik agama? Satu-satunya yang bisa
menjelaskan komentar ini adalah: marzuki ingin meredam, demi mengatakan
tidak ada konflik agama, yang ada toleransi. Lagi-lagi soal
pencitraan—bukan penyelesain masalah. Tidak mudah memang mendeskripsikan
peristiwa ini, tapi saya berharap DPR yang menggaji banyak staf ahli
atau media yang urusannya adalah melaporkan fakta bisa berbuat lebih
baik.
Faktanya: satu orang terbunuh, empat dalam kondisi kritis, sekian
luka-luka, sekian rumah terbakar. Korban parah (manusia harta benda)
semuanya berasal dari kelompok Syiah, yang gurunya adalah Tujul Maluk.
Peritiwa apa ini? Kenapa terjadi?
Peristiwa Apa?
Sebagian besar media (termasuk Kompas dan Republika cetak hari ini)
menyebutnya sebagai “bentrok warga”. Jakarta Post menyebutnya “melee”,
yang berarti kerusuhan atau perkelahian massal. Tapi kalau melihat
jumlah tak berimbang di antara kedua pihak itu, ratusan orang (menurut
Antara, lebih dari seribu orang yang membawa senjata tajam!) menyerbu
kelompok lain, dan korban mati atau kritis serta luka-luka, serta
puluhan rumah terbakar (dibakar) semuanya dari pihak warga pengikut
Tajul Muluk, maka ini bukan bentrok, tapi penyerangan.
Kenapa Terjadi?
Ada kesepakatan beberapa sumber (polisi, media, LSM) bahwa ini
dimulai dengan penghadangan sekelompok anak/remaja yang akan
meninggalkan kampung mereka untuk kembali belajar ke pesantren di luar
Sampang setelah libur lebaran usai. Tapi ada cerita lain yang bermula
dari rombongan ibu dan istri Tajul Muluk yang akan membesuk
anak/suaminya di penjara Sampang, dihadang sekelompok orang, gagal
membesuk, lalu pergi ke sisa-sisa rumah mereka (yang tersisa dari
pembakaran pada Desember 2011), dibuntuti, lalu beberapa waktu kemudian
terjadi peristiwa penyerangan dan pembakaran itu. Korban mati diserang
ketika mencoba melindungi kelompok yang akan diserang dari para
penyerang.
Siapa Para Penyerang?
Ada yang menyebut sekadar “kelompok warga”, ada yang menambahinya
dengan “anti-Syiah” (atau “rusuh massa Sunni vs. Syiah”), ada pula
“massa intoleran”. Semua penyebutan ini tidak ada yang “netral”.
“(Kelompok) warga” adalah sebutan paling “netral”—tepatnya paling aman,
tapi tidak memberikan penjelasan apa-apa. “Anti-Syiah” mengisyaratkan
ini adalah perselisihan yang dipicu perbedaan paham. “Massa intoleran”
bisa tidak berarti apa-apa, kalau mereka disebut “intoleran” karena
penyerangan kemarin itu saja, paling jauh mengimplikasikan juga bahwa
pemicunya adalah tiadanya toleransi terhadap perbedaan (perbedaan
mazhab?); bisa juga berarti banyak, kalau kelompok yang menyerang adalah
kelompok yang sama yang terlibat dalam penyerangan sebelumnya dan sudah
terbukti motivasi mereka (dulu) adalah intoleransi. Saya tidak yakin
dalam hitungan jam siapa pun dapat memastikan motivasi mereka,
setidaknya khsusus menyangkut penyerangan hari Minggu kemarin.
(Analisis lebih jauh, tentu bisa seperti Haris Azhar dari Kontras
hari ini: “Akar masalahnya adalah kebencian terhadap perbedaan.” Tapi
juga perlu berhati-hati—apakah penyebab penyerangan adalah perbedaan,
atau kapitalisasi atas perbedaan? – Lihat di bawah, soal lapis-lapis
peristiwa.)
Mencoba mensterilkan deskripsi agar faktual, objektif bisa mudah
terjatuh pada tak menyampaikan banyak informasi, atau bahkan bertindak
tidak adil (misalnya dengan menyebut “bentrok” yang mengimplikasikan
kesalahan atas peristiwa itu ditanggung kedua pihak secara seimbang).
Jadi bagaimana?
Fakta dan Analisis
Beberapa fakta bisa dengan cepat dipastikan, yang lain bisa
dijelaskan hanya dengan menggoogle berbagai versi latar belakang
peristiwa sejak tahun lalu. Pertama, ini bukan bentrok, tapi
penyerangan, karena alasan di atas.
Kedua, identifikasi penyerang bisa disebut dengan menyebut
latarbelakangnya: misalnya, dimulai dengan menyebut secara “netral”
kelompok penyerang sebagai “kelompok warga”, lalu dikualifikasi dengan
tambahan info bahwa kelompok yang diserang sudah pernah diserang oleh
kelompok warga yang diprovokasi Rois Hukama (adik tajul Muluk) pada
Desember 2011 dan provokasi itu terus berlanjut pada bulan-bulan
sebelumnya; dan bahwa Rois melaporkan kakaknya (Tajul Muluk) ke
pengadilan atas tuduhan penodaan agama, dan Tajul seudah diadili dan
dihukum atas tuduhan penodaan agama (tepatnya klaim bahwa Quran umat
Muslim sekarang tidak otentik—bukan karena dia mengajarkan Syiah, bukan
karena Syiah sesat, meskipun salah satu alat bukti dari MUI Sampang
mengatakan itu). Ini semua sudah merupakan
established facts; para wartawan seharusnya tinggal melakukan
search dalam database media mereka sendiri (saya bisa melakukannya melalui Google).
Deskripsi latar belakang itu sekaligus bisa menambah informasi soal
motivasi (yang belum bisa diperoleh secara cepat tanpa mewawancarai para
penyerang).
Terakhir, perlu dicatatat bahwa pengadilan atas Tajul Muluk
menggunakan pasal Penodaan Agama (KUHP 156A), yang logikanya adalah
penodaan dapat dihukum karena menimbulkan keresahan/kerusuhan dalam
masyarakat. Nah, sekarang si tersangka penyebab kerusuhan ada dalam
penjara, kok masih terjadi kerusuhan?
Berarti yang bikin rusuh adalah provokator yang terang-terangan
menyebut Tajul sebagai sesat (dan tak sepenuhnya terbukti di pengadilan,
masih dalam proses banding), mengancam dia dan para pengikutnya, dan
menyarankan mereka untuk tidak berhenti menyerang para pengikut Tajul
(termasuk keluarganya, ibunya, istrinya), bahkan ketika Tajul sudah
dipenjara. (Perlu diingat pula, ketika penyerangan Desember 2011
terjadi, Tajul juga sudah meninggalkan Sampang selama berbulan-bulan.)
Ujaran kebencian dan hasutan untuk kekerasan sudah merupakan tindak
pidana bahkan sebelum itu dilaksanakan.
Yang terakhir ini adalah contoh terbalik-baliknya logika pengadilan
penodaan agama. Dalam kasus-kasus yang belakangan terjadi (khususnya
menyangkut Jemaah Ahmadiyah), ketidaktertiban sosial dikatakan terganggu
karena ada yang menodai; tapi sesungguhnya ketidaktertiban—secara
faktual—terjadi setelah ada provokasi yang menggunakan pretxt penodaan,
dimana si “penoda” adalah korban. (Setiap mengatakan hal ini, saya
selalu teringat pada Mahfudz MD, Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi, yang
seharusnya cerdas tapi kok ya menalan argumen ini mentah-mentah, yaitu
ketika memutuskan uji materi UU Penodaan Agama tahun 2012 dulu. Kalau
Hakim Konstitusi menelan argumen itu, tak mengherankan para hakim di
pelosok-pelosok pedesaan termakan oleh argumen itu juga, apalagi ketika
dibumbui kepentingan politik lokal atau nasional.)
Lapis-Lapis Peristiwa
Di luar peristiwa hari Minggu kemarin, dalam kasus Tajul Muluk ada lapis-lapis peristiwa yang mesti dipahami.
- Ada perseteruan kakak-beradik Tajul dan Rois yang dipicu
macam-macam hal (ada persoalan keluarga, dikonfirmasi oleh ibu mereka
sendiri di pengadilan), tapi Rois, yang kalah kharismatik dari Tajul,
menyebut ajaran Syiah sebagai ajaran sesat dan menyulut penyerangan atas
Tajul;
- lalu ada Bupati Sampang yang menggebu-gebu ingin peristiwa ini
disidangkan, mungkin dia berpikir ini bisa jadi amunisi untuk Pilkada
berikutnya.
- Lalu ada pula kelompok anti-Syiah yang sudah bertahun-tahun
memusuhi Syiah memancing di air keruh ingin menjadikan kesempatan ini
untuk mengilegalkan Syiah di Indonesia;
- dan kemudian beberapa kelompok ulama lokal (termasuk MUI, konon
juga NU) yang (mungkin naif, mungkin simpati pada tujuan Rois, Bupati,
atau anti-Syiah) mendukungnya dengan mengeluarkan fatwa.
Lapis-lapis seperti ini hampir selalu muncul dalam peristiwa “penodaan agama”